Breakin’ Record : Di Gunung Sumbing (Bag.2)

22 Agustus

Di POS I, 3 Km jauhnya dari basecamp pendakian Gunung Sumbing, pagi-pagi sekali kami bagun dalam keadaan mata masih ‘kriyip-kriyip’. Tidur semalam terasa sangat nyenyak bahkan sampai mengalami banyak mimpi yang berpindah-pindah menyenangkan di tempat-tempat yang embuh kami tak tahu dimana itu berada.

20150822_063757.jpg
Satu pemandangan antara POS I dan Basecamp di lain hari saat perjalanan turun

Dalam pada itu kami mencoba mengingat-ingat perjalanan sebelumnya, perjalanan menanjak mendaki jalanan berbatu tanpa basa-basi. (baca : Breakin’ Record : di Gunung Sumbing)

Enam orang telah pergi sejauh ini, berkilo-kilo meter dari Jogja dengan motivasi masing-masing. Motivasi kami mungkin berbeda-beda, seperti saya misalnya, melakukan perjalanan ini selain untuk mengagumi keindahan alam juga untuk menghindari konflik batin karena skripsi yang tak kunjung selesai, karena bosan konsultasi dengan dosen pembimbing yang cukup alot di ajak berdamai. Sekali lagi motivasi kami mungkin berbeda-beda tapi kami memiliki komitmen dan tujuan yang sama; bersama-sama saling menjaga dan menopang untuk sampai puncak dan kembali lagi dengan suasana baru, cerita baru dan semangat yang baru. Saya berkomitmen setelah kembali saya akan menyelesaikan skripsi sialan itu. Dan yeay Alhamdulillah komitmen kali ini tidak seperti komitmen-komitmen sambel seperti sebelumnya; satu bulan sejak kembali dari sana saya dinyatakan LULUS Hahahahaha.

Baiklah kembali ke cerita utama… dalam tenda sempit dan terisi dengan begitu banyak barang berjejalan -4 carrier berukuran jumbo dan bermuatan penuh, para laki yang masih berkasak-kusuk lengkap dengan sleeping-bag masing-masing dan berbadan cukup besar untuk di jadikan makan macan-macan gunung yang kelaparan- mestinya udara akan terasa cukup hangat dan gerah, namun kenyataannya tidak begitu… dan juga setahu saya, di Gunung Sumbing gak ada macan.

Mulanya hawa dingin pengunungan membuat kami malas beranjak untuk melakukan rutinitas pagi seperti yang biasa kami kerjakan ketika di rumah, namun kemudian ketika mendengar suara-suara yang agak ribut di luar, kuputuskan untuk bangkit. Kudapati di sana, di samping tenda perempuan, Mbak Rini dan Mbak Dhani sudah banyak bergerak, mungkin sedang senam pagi sambil melihat pemandangan, pikirku, dan sebaiknya memang begitu.

Ah sudah siang rupanya! Fajar sudah tak lagi merah, kabut tebal bergulung-gulung menyelimuti cakrawala. Namun tepat di hadapan saya, Gunung Sindoro tinggi menjulang dan di puncaknya… seperti dugaan saya, puncaknya berselimut awan membentuk topi yang melingkar menutupi puncak -sudah lama saya mengamati pemandangan ini dari rumah-.

“Itu adalah keajaiban Gunung Sindoro,” Kataku pada Mbak Rini dan Mbak Dhani “tapi entah ada mitos apa di balik itu… aku tak tahu.”

Mbak Rini dan Mbak Dhani cuek aja. (shiiit aku di cuekin :v )

Sekonyong-konyong ketika saya melihat jam, saya teringat, belum solat subuh “Masih pagi rupanya. Masih ada waktu untuk sholat.” Ya di gunung jam 5 pagi sudah seperti jam 6 atau jam 7 kalau di kota. Lantas saya mengambil debu untuk tayamum (bukan alergi dingin, juga bukan air gak ada cuma takut air tidak cukup untuk perjalanan jauh yang menanti di depan.)

***

Kami tidak sendirian, di POS I ini ada rombongan lain yang mendirikan tenda. Pagi itu saya merasa sedang malas mengobrol jadi saya biarkan saja mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Entah apa yang berkecamuk dalam pikiran saya saat itu, yang saya tahu saya begitu kagum dengan pemandangan POS I ini. Ladang tembakau terbentang luas bergaris-garis kebawah seperti tanpa batas, diantara itu selarik garis hitam berkelok-kelok mengingatkan betapa payah perjalanan malam sebelumnya. Disisi yang lain pohon-pohon besar tumbuh berbaris di lereng-lereng rendah hingga sejauh mata memandang. Udara bertiup kencang dari belakang saya dari balik rapatnya pohon-pohon pinus membuat saya sedikit berat untuk menarik nafas, namun itu hanya sebentar sebab tak lama setelah itu langit mulai berpendar lambat-lambat bersinar kekuningan. Sinar matahari menembus awan yang mulai memudar entah pergi kemana. Dalam pada itu Gunung Sindoro menjadi tampak sangat jelas bergaris-garis biru gelap dan kuning kemerahan (*tak ada kamera -_- yang punya kamera cuma Mbak Rini dan Mbak Dhani tapi entah tuh kenapa gak photo-photo, saya sebenernya pengen minta tapi masih gengsi 😀 )

perbekalan kami, sederhana kan?

Lama sekali saya mengedarkan pandangan menikmati pesona itu. Samar-samar kudengar suara motor meraung-raung semakin mendekat. Dan ketika melihat tukang ojek menurunkan banyak pendaki seketika saya langsung patah hati. Entahlah, ada suatu yang dengan sangat keras menyodok ulu hati saya, sesuatu seperti ingin melompat keluar. Aih sialan, betapa keras perjuangan kami untuk sampai sejauh ini, melihat orang lain dengan mudah bahkan tanpa setetes keringat dan nafas tambahan bisa sampai disini. Sakit Hati reeeeeeeek!!!

Oh ya temen-temen sekedar informasi, dalam perjalanan pendakian Gunung Sumbing, untuk sampai POS I bisa di tempuh dengan naik ojek, cuma 15 ribu. Tetapi apapun pandangan temen-temen, kami lebih suka berjalan kaki untuk mencapai ini, selain bisa menghemat uang juga bisa menambah referensi petualangan.

Beberapa saat kemudian kami mulai sibuk dengan aktivitas kekompakan. Kami memasak nasi dan sayuran sederhana untuk sarapan. Walau ada beberapa yang cuma nonton, mereka menyumbang kedekilan dan guyon yang bisa bikin pecah suasana, melarutkan kami dalam bahagia yang tak terkira. Kami benar-benar menikmati pagi itu dan sama sekali tidak buru-buru untuk berkemas dan melanjutkan perjalanan. Perasaan seperti itu membuat kami merasa sangat nyaman. Dan sejak saat itu saya merasa sudah mulai mengenal Mbak Rini dan Mbak Dhani. Mbak Rini dan Mbak Dhani orang yang ringan tangan dan gak jengkelan, makanya kita sering usilin dan ngejek dia buat seru-seruan. Hehehe peace!!! Gak ada kalian perjalanan ini pasti garing kayak gurun pasir. Dan yang paling istimewa dari Mbak Rini dan Mbak Dhani, mereka semua doyan makan.

“Paling seneng kalau daki gunung bareng cewek… mereka bawa banyak makanan.” Ujar Risna suatu kali.

“Halah… bawa cewek gak bawa cewek tetep aja aku selalu apes gak dapet bagian.” Saya merujuk pada pengalaman mendaki Gunung Merbabu dan Gunung Merapi.

Waktu itu di perjalanan menelusuri Gunung Merbabu, oleh sebab suatu alasan rombongan pecah menjadi dua. Rombongan saya tidak ada yang membawa makanan, cuma sebotol air yang tinggal setengah. Untung saya memiliki usus yang kuat dan perut yang tidak pernah ngajak ribut. Pun dengan perjalanan di Merapi, ada banyak makanan tapi nafsu makan (lagi) tidak baik.

Namun kali itu berbeda, saya sedang beruntung, nafsu makan lagi baik, Mbak Rini dan Mbak Dhani mengisi ransel-ransel mereka penuh dengan… temen-temen tahu apa itu :v

Sudah berkali-kali rombongan berangkat, kami tetep aja setel kalem. Baru ketika waktu menunjuk kurang lebih pukul 08.30 kami bersiap dan berkemas. Sampah-sampah di ambil dan dikantongin, tenda di lipat, semua barang di masukin ke carrier.

“Aih ini berat… banyak air sih, 10 liter nih.” Kataku

“Halah ini mah ringan, kamu aja yang gak bisa ngepack.” Ledek Risna

“Halah… Halah…!! Punya kalian lebih ringan, coba nih angkat punyaku!” sahut Satio tak mau kalah

Hei..! Hei..! Ngapain coba sombong-sombongan di gunung, kalau bisa bawa beban berat terus paling keren gitu ya?! Mungkin begitu. Manusia memang terlahiruntuk sombong, padahal perjalanan ini bertujuan agar kita menjadi rendah hati… ah barangkali ini memang proses, bukan begitu teman-teman?

Sampai disini dulu… semoga temen-temen pembaca terhibur dan menantikan postingan berikutnya.

20150822_111642.jpg
Insyaallah postingan berikutnya atau berikutnya lagi, cerita betapa dahsyat pengalaman disini…

Saya Andy Riyan

NB : Pada kenyataannya carrier saya yang paling berat di antara mereka, pembaca perlu tahu itu, oke hahahahahah :v :v

20150823_094704.jpg
dan betapa indahnyapemandangan di sini…

Discover more from Jejakandi

Subscribe to get the latest posts to your email.

9 Comments Add yours

  1. rini says:

    Hahahaha slowly banget sih mas ceritanya. Yap yap tapi lucu dan kadang menyebalkan. Sampe inget detail detailnya. Aku mau lagi tapi nggak usah ada capeknya bisa? Wkwkw

    Like

    1. jejakandi says:

      Hahaha hooh mbak slow banget, udah sering ganti gaya cerita dan nyaman yg kayak gitu. Kita kan berpetualang pakai hati mbak, jadi yang udah nancep gak bakal lupa. Bisa! Nyewa heli :v

      Like

      1. rini says:

        Ya kalau aku sih inget sampai detailnya. Tapi untuk menuliskan berderet deret, ah susah 😀 skip aja langsung sampai tempat camp wkwk.
        Yaelah selain pake heli dong

        Like

      2. jejakandi says:

        Kata orang bijak si “Untuk mencapai keindahan yang sempurna harus mendapatkannya dengan perjuangan yang berat.” Wkwkwk. Semua penulis mencoba untuk menjadi beda, Mbak. Kalau tak skip semua jadi sama dong seperti punya mbaknya.

        Like

  2. Anggaresa says:

    Boleh lain kali mendaki lagi ya mas andi, sangat sayang kalau kisah indah ini berakhir cukup di sumbing.

    dan tak pernah lupa, tetep —> :v

    Liked by 1 person

    1. jejakandi says:

      Bolehlah mendaki lagi, Mas Risna. Kalau masih ada ketan, boleh saya minta satu lagi. Kalau nanti ada kesempatan, hayok kita mendaki lagi.

      :v :v :v

      Like

    2. rini says:

      Mendaki sekali lagi ya mas risna? Hahaha *kabur*

      Like

      1. Anggaresa says:

        Selalu ada “satu pendakian lagi” di setiap akhir pendakian mbak riniiiii

        Like

Katakan sesuatu/ Say something

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.