Sore hari selepas hujan, dua orang manusia sedang duduk bersama pada sebuah bangku panjang di suatu bukit rendah di tengah kota. Di belakang mereka tumbuh sebatang pohon yang rindang yang ranting-rantingya tumbuh memanjang meneduhi mereka dari gerimis yang merinai-rinai lembut.
Gambar disini
Duduk bersisian antara satu sama lain, mereka memandang jauh kepada gedung-gedung tinggi yang tampak seperti sebuah maket, diantara gedung-gedung itu terdapat rumah-rumah yang tersebar seperti kapur menyala berwarna putih. Dari jauh semakin mendekat ke bukit, mula-mula hamparan samar kehitam-hitaman. Sesekali kemudian tampak pohon-pohon tumbuh di garis hitam panjang yang diatasnya berlalu-lalang semua jenis kendaraan. Semakin mendekat kemudian hamparan kuning sawah-sawah yang tak seberapa luas namun seakan menjadi batas keramaian menuju kesunyian diantara areal tanah-tanah yang tumbuh ilalang dengan semak-semak menjadi pernak-pernik hiasan saja.
Angin berhembus dan langsung menyapa dua manusia yang sedang dilanda persoalan asmara. Sesekali daun-daun yang dingin berjatuhan dan terkadang kehangatan menjalar dari napas yang berkabut.
Sang lelaki memandang kearah sang perempuan yang duduk tegak disampingnya. Dan kepada sosok perempuan berjilbab warna kuning telur itu, ia berkata:
“Kepada cinta yang menyapa, tergetarlah hatiku kar’nanya, mengisi hari-hariku dengan senyuman.”
Sang perempuan membalas memandang sang lelaki, namun ia cepat-cepat menunduk melihat kepada sepatunya, mungkin karena malu.
“Saat hadir kasih yang menggodamu,“ kata sang perempuan, dengan mantap ia lalu memandang kepada lelaki yang mengajaknya berbicara “hati selalu menjadi rapuh, selalu menjadi keputusan sulit untuk pilihan yang mungkin sangat sederhana.” Katanya tanpa ragu-ragu.
Dua pasang mata itu kemudian saling beradu.
Keheningan lantas mencuri waktu diantara dua titik yang pendek sekali jaraknya. Dan daun-daun pun juga tak melewatkan kesempatannya untuk berbisik menjawab sapaan sang angin lembut yang bertiup.
Sang lelaki menyunggingkan sudut kanan bibirnya.
“Tak perlu memaksakan cinta tumbuh di hati,” katanya kemudian sebelum berbicara lebih lanjut ia mengalihkan pandangan sejenak kembali kepada garis-garis sepi di kejauhan “dan tak perlu menghalangi rumput tumbuh di bumi, cinta datang dan pergi sesuka hati.”
Seperti sang lelaki, akhirnya sang perempuan pun memandang ke arah kota yang kian memudar ia lalu memandangi telapak tangannya sendiri dan meremasnya.
“Jika saja jemariku ini cukup luas untuk memeluk setiap cinta, bisalah hatiku berbagi… namun itu bukan kehendakku, itu kehendak Tuhan memberikanku jangkauan yang hanya sejauh ini.”
“Kasih dan cinta yang tak bertepi tidak akan kau temukan disini…” balas sang lelaki menggerataki wajah sang perempuan.
Pikirannya kemudian cepat sekali berputar pada rangkaian-rangkaian rumit yang ia temukan sejak berbulan-bulan yang lalu.
“Tidak pula disana, di semestamu yang sempit, tidak di hatimu yang tak bisa memandang pada siapa kamu telah menimbang dengan benar… tapi disuatu tempat sejak di beranda rumah kita.”
“Aku selalu menakar kepada siapa aku berbicara…” balas sang perempuan tak kalah sengit.
Sang perempuan juga menjawab tantangan, tatapan mata dibalas dengan tatapan mata lebih nyalang nan berkilat-kilat.
“Aku berbicara pada pria yang sepi, hati yang sunyi yang diselimuti oleh kegelapan.”
Sekujur tubuh perempuan itu tergetar.
“Seperti tak ada terang, cahaya seperti tidak pernah singgah disana.” Tambah sang perempuan.
“Jika hanya mentari yang membuatku hangat…” sahut sang lelaki “dan hanya pelangi yang membuat mataku berpijar maka senyumu yang pernah menyapaku itu lebih hangat dan lebih indah.”
“Aku memiliki mentariku sendiri, aku memiliki pelangiku sendiri…” Jawab sang perempuan “Kembalilah pada dirimu yang dulu, dimana indah memeluk setiap rindumu… dimana tidak ada ganjalan bagi semesta ini untuk saling menyapa sebagai seorang sahabat.”
“Aku paham tidak ada tempat untuk sang pemburu matahari terbit dalam pilihanmu…” kata sang lelaki menyimpulkan “namun kamu tidak akan pernah bisa menghalangi fajar yang memecah meskipun venus tak pernah menjadi nomor dua.”
“Memang tidak.”
(C) Andy Riyan
Prosa Selepas Hujan | @jejakandi
Dari Sang Pemburu Matahari Terbit
untuk Sang Embun Pagi
*Note : Prosa ini awalnya saya tulis untuk Antologi Embun Pagi, tetapi karena suatu hal antologi ini tak pernah selesai (mungkin belum atau memang tak akan pernah selesai).