Ada nan banyak jejak yang telah tertinggalkan di masa-masa dulu yang telah berlalu. Sudah barang tentu disetiap jejak itu–seperti jejak semua orang–sekelumit kisah tersisa untuk dikenangkan atau kan menjadi terlupa jikalau tak kita torehkan semua itu pada lembaran-lembaran jeluang. Sebagaimana di bukit Menoreh itu, terpendam cinta yang pernah menyapa; menyambung setiap jejak biar tak terputuskan, mengisi kekosongan biar lengkap di dalam ruang-ruang yang tak lagi terhitung banyaknya.
Jikalau temen-temen mengharapkan panduan wisata atau gambaran perjalanan dan lukisan keindahan landscape menuju Puncak Suroloyo wilayah Kulon Progo, Yogyakarta itu, sila tutup halaman ini dan bukalah Google lalu serching halaman lainnya namun, jikalau temen-temen mengharapkan narasi yang lambat dengan gaya cerita monolog khas saya yang sedikit absurd dan baper, mari saya antar memasuki relung-relung memori cerita dari ‘catatan rumit’ selama kurang lebih 13 jam itu.

Selepas Maghrib kala itu–Selasa tanggal 26 Januari 20016—rinai hujan yang jatuh sedari siang baru saja reda sisakan udara yang anyep semilir sepi nan senyap di seluruh penjuru kota, lalu sebagaiamana biasanya bersama kawanku, Yazid, daku meluncur menuju kedai kopi yang bertempat di daerah Sorowajan, Banguntapan, di sekitar komplek kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sesampainya disana daku langsung meminta kopi pahit, dan sebagaimana biasanya ada tanya ‘pakai gula atau tidak?’ yang muncrat dari bibir sang perempuan manis penunggu meja kasir.
“Setengah sendok saja,” jawab daku. Seketika bola mata hitam nan eloknya berputar mengerling padaku bak sedang menerka-nerka masalah daku. “Atau tidak sama sekali.” Kata daku meralatnya.
Empat tahun lebih sudah kami tinggal di kota ini, akan tetapi tiada bosan-bosannya kami terus menjelajahi setiap sudut-sudutnyadari yang paling gaduh hingga yang paling lelap, dari yang palingburuk hingga yang paling menawan, terkadang daku heran, rahasia apa yang sesungguhnya terkandung di balik kota Keistimewaan ini? mengapa orang yang pernah singgah pasti ingin kembali lagi? Di lain waktu daku menemukan jawabannya, ternyata tidak lain tidak bukan itu orang-orangnya sendiri, penghuni kotanya-lah yang istimewa. Selalu ada keramah-tamahan dan cinta yang menyelip diantara mereka. Tidak hanya cinta seorang laki-laki kepada perempuan di tanah perantauan, tetapi terdapat pula cinta terhadap cinta itu sendiri yang mampu membentuk kisah di setiap kesempatannya.
Sementara Yazid masih sibuk melayangkan pandang membaca daftar menu dan belum lagi memesan, maka daku melangkah memilihkan tempat duduk yang lenggang dan jauh dari pintu menghindari pelanggan yang lalu lalang. Lalu beberapa saat saja setelah merebahkan diri pada kursi beranyam bambu di sudut kiri kedai kopi, Yazid menghampiri menenteng Papan Catur dan sepiring penuh berisi Mendoan dan Tahu Isi.
“Masih berani, Kau, menantangku main catur?”
Yazid nyegir saja menanggapi cemohanku. Berpuluh-puluh kali sudah kami bertanding, namun kawanku itu masih belum bisa mengalahkan daku, entah sebab daku yang terlalu cerdas nan senantiasa curiga dengan setiap ekspresi manusia dan setiap langkah-langkah yang mereka ambil atau sahabatku itu yang kurang fasih dengan urusan taktik, please bahkan daku tak boleh menilai, hanya Tuhan yang boleh menghakimi.
“Ayolah! Sambil menunggu Risna,” Yazid membuka papan permainan berkotak-kotak warna hitam putih bentuknya itu dan mengambil bidak yang gelap. “Tidak akan semembosankan itu, dua kali menang… satu kali kalah dan satu kali seri itu hasil yang kudapat dari permainan melawan Ben tempo hari.”
“Begitu?”
Dengan malas daku pun meladeni tantangannya sebab kopi pesanan kami belum juga siap. Jemari-jemari daku secara otomatis bergerak merapikan bidak putih tapi pikiran daku kala itu berlarian entah kemana, seperti menjadi kurang awas tanpa adanya kopi yang menemani.
“Aku tak tahu Risna punya janjian dengan kita.”
“Halah Risna…” Yazid mememungut sebungkus rokok dan korekapi dari saku jaketnya lalu menyulutkan api, menghisap pelan-pelan kemudian mengeluarkan asap melalui hidungnya “kita tahu Risna bisa saja datang tanpa di jemput dan pulang tanpa diantar… dia akan datang usai les privat bubar.”
“Begitu?” jawab daku pura-pura heran. Tanganku meraih pion di depan Raja, daku dorong satu kotak menuju kotak hitam. Yazid menjawab pola itu dengan cara klasik, masing-masing pion di depan Raja dan di depan Kuda maju selangkah. Beberapa saat kemudian pola-pola terbentuk indah, Steer dan Kuda sudah berada di arena tengah pertempuran.
Belum selesai membuat pola pembukaan Italia, seorang pelayan datang menghampiri kami dengan membawa baki dengan belasan cangkir segala rupa diatasnya.
“Kopi hitam?” Katanya, kemudian memilih satu cangkir dari banyak cangkir yang hampir sama. Daku mengangguk saja lalu menjulurkan tangan menerima cangkir yang masih sangat panas itu.
“Kopasus! Sogem.” Kata Yazid pada sang pramusaji
Laki-laki itu mengangguk kemudian meraih cangkir kecil yang lantas di terima Yazid lalu kemudian menurunkan segelas besar minuman berwarna biru muda dengan gumpalan-gumpalan es batu yang seperti hendak meloncat dari gelas.
“Matursuwun, Mas!” Ujar kami serempak.
“Gila! Apa ya tidak melepuh tuh lidahmu.” Kata Yazid ketika melihat daku langsung menyeruput kopi. daku menggeleng.
Cara daku menikmati kopi mungkin sedikit berbeda dari kebanyakan orang. Orang lain biasanya membiarkan dingin dahulu beberapa saat sebelum di hirup perlahan seiring irama obrolan, daku langsung saja menikmati kopi itu mumpung masih panas. Menghirup aromanya kemudian disesap perlahan, daku tahan beberapa detik di mulut sebelum ditelan.
“Hemmm… lidahku itu ajaib. Setiap kata yang keluar darinya berpotensi menyakiti semua orang. Aku tak habis berpikir mengapa demikian. Padahal lidahku ini tak pernah mengkhianati otak, ia akan mengatakan apa saja yang muncul di monitor virtual yang berada di otak. Jadi ia butuh sesuatu yang panas untuk belajar segala rasa, sebab kau tau? Puncak dari rasa itu ketika berada dalam panas yang maksimal. Misalnya seperti rasa jatuh cinta, ia benar-benar akan merasa paling bahagia ketika sedang membara.”
Yazid melongo.
“Bingung, Zid?” melihat kawanku diam tak beraksi, daku pun tertawa “aku juga gak tahu apa yang baru saja aku katakan.”
Sebenarnya alasannya itu sederhana, daku memang menyukai kopi yang masih panas itu saja. Sebab aroma yang keluar bisa ku rampas habis-habisan sebagai suplemen bagi kepala daku hingga menjadi terasa ringan.
***
Beberapa kali sudah permainan di restart, daku akhirnya mulai bosan. Dan selepas bergantian sholat Isya’ di Mushola kedai kopi, Musa datang. “Ajaib ini manusia pikir daku” ketika Musa menolak suatu tawaran untuk di pesan, “sedang tak beres”. Katanya takut jadi berhasrat ingin pipis melulu.
Musik beraliran dangdut koplo mulai mendentum-dentum hebat seiring semakin berdatangan pelanggan yanglalu menyesaki kedai tradisional ini. Berbagai macam rupa dari berbagai kalangan terlihat bahagia; Kalangan pekerja kantoran, wirausaha dan mahasiswa yang masih baru ataupun yang sudah kadaluarsa, mereka semua berteriak dan tertawa; ada yang hanya memesan kopi dan mengobrol saja, ada yang duduk berkeliling sambil bermain kartu remi dan asap mengepul seperti corong pabrik dari mulut-mulut mereka. Di sisi yang lain duduk dalam kelompok kecil seseorang memegang gitar yang lain tepuk tangan dan menyanyikan lagu-lagu yang sedang populer. Kadang-kadang ada yang memiliki suara bagus yang membuat kami menghentikan segala aktivitas, mendengarkan dengan hikmat lalu bertepuk tangan setelah lagu itu usai.
Melihat papan catur di depan kami hanya menganggur, seorang berambut gondrong menghampiri, “Dipakai nggak, Mas? Pinjam caturnya.”
“Enggak, Mas, monggo pakai aja.” Jawab daku santai. Yazid tampak sebal. Daku terkekeh.
Ketika kami sedang mengobrol, datang dari pintu, seorang laki-laki bertubuh kerempeng seperti sapu lidi berjalan menghampiri kami, kaos putih dan celana jin pendek membalut tubuhnya yang hanya sebatas tulang dilapisi kulit.
“Ndi! Joshua, Ndi!” katanya langsung, masih berdiri dan belum lagi mengambil tempat duduk.
“Yid, kasih! Kamu bos nya malam ini.”
Lembaran uang dua puluh ribu-an keluar dari dompet Yazid dan ku berikan pada Risna.
“Hahahajigur koyo preman koe, Ndi!” kekeh Risna
“Ris, Dua.” Kata Musa
“Yoh!”
“Ajaib nih, Musa” pikirku sembari mengawasi Risna yang berlalu menuju meja kasir guna memesan Joshua. Selanjutnya kami mengobrol hingga jauh malam, duduk mengelilingi meja dari anyaman bambu ngelantur ngalor ngidul. Kadang ngomongin gebetan, kadang ngomongin persamaan diferensial, sistem dinamik dan teori-teori persamaan fisis. Ketika Musa yang hobinya nyinyir dosen, Yazid yang selalu menyambung dengan topik yang paling tidak nyambung di isi cerita Risna yang baper soal gebetan dan aku melengkapi dengan teori omong kosong, bagaimana mungkin obrolan ini akan berakhir? Hanya Tuhan yang bisa menjawab.
“Ke puncak Suroloyo… Kulonprogo, Yuk!” kata daku di sela-sela topik yang sedang kami bahas.
“Kapan?” tanya Musa.
“Pagi nanti, jam 3 berangkat dari sini.”
“Manut.” Sahut Yazid menimpali.
“Mangkat!” sambung Risna.
Beberapa jam kemudian kami sudah berada dalam perjalanan menyusul Musa yang telah pulang lebih dulu ke rumahnya di Krapyak; Kami berangkat lebih awal karena sudah dilanda kebosanan. Bermodalkan Google Maps kami meluncur kearah barat. Tidak seperti biasanya, malam itu kota begitu lenggang, hanya sedikit kendaraan yang berlalu lalang.
Di tengah perjalanan daku merasakan motor yang daku tumpangi sedikit oleng “pasti ada yang tidak beres”. Kami memutuskan berhenti sebentar untuk memeriksanya sekalian membeli susu krim di minimarket yang masih buka di pinggir jalan. Benar saja ban motor daku sedikit kempes. Lalu ku hela motor itu menuju Pom Bensin yang berada di minimarket mencari fasilitas isi angin. Sialnya daku lupa mengecek tekanan anginnya sebelumnya, ban mutor bukannya semakin penuh namun malah semakin kempes. Dan dengan ban kempes itulah kami melaju lagi melanjutkan perjalanan sambil senantiasa berharap ada jasa isi angin atau pom bensin lain di jalan.
Daku sempat tertegun tiap kali menjumpai pom bensin, jalan masuknya selalu di pasangi rantai, sehigga yang lain harus mengangkatnya, tiga pom bensin sudah kami lewati tapi tidak mendapat fasilitas isi angin. Pun halangannya aneh-aneh saja; ada satu kompresor yang tidak memiliki selang, di pom selanjutnya ada selangnya tetapi kepala dop nya tidak ada, pom selanjutnya lagi ada selang dan kepalanya tetapi tidak ada tekanan anginnya. Ketika sampai pom ke empat, ini lebih parah, tidak ada fasilitas isi angin. “Ya Tuah cobaan apa lagi.” Sampai di pom bensin kelima, daku membesarkan hati mencoba tabah dan tidak berharap akan bisa mengisi ban; kali ini lain jalan masuknya tidak di rantai. Daku sempat ragu coba tidak ya? Tanpa pertimbangan apapun daku masuk, kudapati fasilitas yang diluar dugaanku, ketika kepala dop kopresornya daku tekan menggunakan ujung kuku, kacamata daku pun terbang saking kuatnya tekanan anginnya.
Sekitar pukul tiga lebih kami sudah mencapai desa Gerbosari, navigasi di Google Maps sudah selesai, namun tidak ada tanda-tanda jalan menuju puncak. Di tengah sawah, ditengah bualak tiada seorang pun muncul kecuali kami, tiada demit yang dapat ditanyai. Fix! Kami tersesat. Kami berbalik hingga persimpangan jalan dan mengambil jalan satunya mengikuti insting. Jalan raya itu sepi sekali, saking sepinya gendruwo pun tidak mau buang anak disana. Daku mengganti navigasi di Google Maps, mengganti menjadi Puncak Suroloyo, ada sedikit petunjuk tapi tak pasti. Kami pun mengikuti petunjuk itu hingga di jalan bertemu nenek-nenek. Semua orang ngebut melihat sosok itu. Setelah agak jauh kami berhenti. Kemana sekarang? Tak ada petunjuk apapun, hanya ada jalan jelek menurun tajam.
“Ris, ayo tanya sama nenek tadi.” Kataku
“Koe wae!”
“Yid? Mus?”
Sial tak ada yang mau menemani daku menghampiri nenek misterius itu. Risna turun dari boncengan daku melaju dan menghampiri seorang nenek yang sedang bersandar di pagar beton jembatan. Nenek misterius itu diam saja. Lampu headlamp sengaja daku padamkan, dua meter dari nenek aku parkir motor itu di tengah jalan lalu melangkah menghampiri dan bertanya dalam bahasa jawa.
“Permisi, Mbah.” Daku mendengar suara sendiri sedikit gugup. Tak ada jawaban.
“Mbah?” daku ragu “Sedang apa disitu?”
“Lagi duduk-duduk, Mas” daku terlonjak kaget. Di jalan yang antah berantah, suara nenek ini cukup keras juga.
“Mau kemana, Mbah?”
“Ini, Mas, mau kepasar.”
“Ke pasar, Mbah?! Jalan kaki?” daku mengedarkan pandang berkeliling, tidak nampak ada tanda-tanda pasar dekat disitu,seketika bulu kuduk berdiri “Mbah, kalau mau ke Puncak Surolyo lewat mana?”
“Puncak Menoreh, Mas? Turun saja terus ikuti jalan kesana,” tangan nenek menunjuk kearah dimana daku telah meninggalkan teman yang lain.
“Suwun, Mbah.”
Daku lantas menstarter motorku, menghampiri teman yang sudah menunggu lalu melaju sesuai petunjuk si nenek miterius. Jalanan tampak aneh, sempit, rusak masuk kedalam rimbunan pohon bambu, sebentar kemudian berkelok-kelok kemudian terus menanjak di tengah ladang-ladang tak bernama.
Kami terus melaju hingga samar-samar suara adzan terdengar, kami telah sampai di lereng yang tinggi. Di sebelah kanan kami jurang-jurang dalam menganga tak berpagar. Jauh di depan kulihat batu-batu tinggi menjulang lebih gelap daripada malam dibawah temaram bintang-bintang dan purnama yang telah lewat. Sekitar setengah lima, kami sudah mencapai tempat parkir. Tanpa basa-basi lagi kami memajat tangga satu-satu dalam gelap. Lalu disanalah di timur jauh sebuah cinta memecah sangat indah, dewi cantik, Venus, yang padanya setiap hariaku selalu jatuh cinta.
(C)Andy Riyan
Memandang Cinta Dari Bukit Menoreh | @jejakandi











One Comment Add yours