Refleksi & Resolusi : Menemukan Jati Diri

Tahun baru adalah momennya untuk refleksi dan resolusi, bukankah begitu? Dan selama tahun 2016 ini apa yang telah kamu capai, kamu bisa menuliskannya untuk sebuah refleksi. Dan hal-hal yang belum terwujud pun bisa kamu tuliskan sebagai sebuah resolusi.

Sedikit cerita saja, Januari tahun 2016 silam, aku tidak membuat resolusi untuk satu tahun yang akan datang, jadi aku tidak akan banyak membuat refleksi. Entah bagaimana aku menjadikan tahun 2016 adalah sebuah transisi dari kehidupan yang terstruktur menghadapi kehidupan yang lebih majemuk. Dari seorang idealis menjadi seorang yang lebih pragmatis. Tentang idealis dan pragmatis, aku sudah menuliskannya, nanti akan saya update.

Simak juga Makna Tahun Baru, yang aku tulis tahun lalu di Bayuwangi.

Membicarakan tipe seorang yang idealis atau pragmatis, maka praktis membicarakan juga tentang dari jati diri. Dan aneh sekali rasanya… di usia ini, usia ketika Muhammad bin Abdullah di lamar seorang janda kaya raya, aku masih mencari jati diri. It is just ridiculous! WTF!!

Jati diri merupakan sebuah itilah yang terdiri dari dua kata yaitu jati dan diri. Jati sendiri merupakan sebuah adjektiva yang memiliki makna asli atau murni. Sedangkan diri merupakan sebuah nomina yang lebih kurang memiliki padanan sebagai pribadi, orang atau diri sendiri atau lebih spesifik sebagai badan. Jati-diri lebih lanjut di jelaskan dalam KBBI sebagai keaslian pribadi atau memiliki makna lebih khusus lagi yaitu ciri-ciri, identitas, ciri khas atau sebuah gambaran tentang seseorang.

Jadi pencarian jati diri ini seperti seolah-olah aku sedang bertanya “Who am I?”

Hal pertama yang terlintas ketika membaca “Who am I?”, adalah film yang di bintangi Jackie Chan, parah banget kan? Terlintas seorang tentara yang amnesia dan mencari tahu siapa dirinya. Yang ternyata oh ternyata…

Lebih lanjut aku teringat tentang kutipan Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. “Mankana nafsahu kana Robbahu…” Aku lupa bahasa arabnya tapi intinya begini : barang siapa yang mengetahui dirinya maka ia mengetahui Tuhannya.

DUAAAAR!!!

Bunyi petir menyambar, menggelenggar hingga ke angkasa luar.

Itu adalah kutipan yang sangat luarbiasa. Semua orang tahu, bahwa Imam Al Ghazali adalah seorang ulama besar, jadi kutipan itu tidak mungkin hanya pepesan kosong, mungkinkah?

Parah! Aku belum memikirkan sejauh itu, so adakah pencarian jati diriku ini untuk menemukan Tuhanku? sik! Aku malah mendadak pusing. Aku mengaku sebagai seorang yang beragama, tapi belum relijius? Aku mempercayai tentang Iman, tentang ilmu-ilmu agama, ilmu khayat dan ilmu makrifat–yang aku dapatkan entah bagaimana–tetapi, aku tak pernah sungguh-sungguh mencari Tuhanku? Aku hanya percaya doktrin? What the hell! HIDUP MACAM APA INI?

Holy fuckin’ shiiit!

Aku selalu mengatakan kepada siapa saja bahwa jati-diri itu bukan untuk ditemukan tapi untuk di bentuk. Bukan tentang apa yang kita miliki tetapi tentang mau jadi apa kita. Dan pernyataan itu ternyata diamini oleh Dumbledore : “It is not our abilities that show what we truly are. It is our choices.” – Harry Potter and The Chamber of Secret

Jadi selama aku tidak punya keinginan, maka aku tidak akan pernah menemukan jati diriku.

Well, at last but not the least! Akhir-akhir ini aku benar-benar sangat mengidolakan Miyamoto Mushashi dan Antonio Conte. Miyamoto Mushahi dengan keteguhan hatinya untuk menapaki jalan Bushindo dan Antonio Conte dengan filosofi Work… work… Work and more work and there’s always space to improve.

Jadi sekarang tidak ada alasan bagiku untuk hanya menerima kenyataan dan menunggu pada akhirnya aku akan menemukan apa yang aku cari jika memang sudah jalannya. Aku akanmengubah pandangan itu sekali lagi. Aku harus menunjukkan kerja keras ala Conte dan keteguhan ala Mushashi. Itu adalah refleksi dan resolusi ku: Menemukan Jati Diri.

Ini R&R ku, mana punyamu?

Oh wait!

HNCK7769.jpg

Sebenarnya aku menulis tentang jati diri bukan untuk menulis begini, amatiran banget sih. Sebenarnya aku menulis refleksi dan resolusi kerja keras ala Conte dan keteguhan ala Mushashi intinya bukan di situ, tapi tentang skill dan style menulis.

Skill dan Style Menulis

Ide awal permasalahanku yakni : untuk menjadi seorang penulis besar, ia harus memiliki gaya penulisan yang khas.

Iya aku bermimpi jika suatu hari nanti aku akan menjadi penulis besar. Penulis besar, dalam pandanganku bukan mereka yang hanya sekedar melahirkan novel-novel best seller, tetapi mereka yang benar-benar menjaga kualitas seni dalam sastra. Dia yang tidak ikut hanyut dalam arus permintaan pasar, dia yang idealis untuk menyampaikan ide dan gagasannya dalam sastra. Bahkan dia yang bisa mengubah sudut pandang banyak orang.

Aku sangat memahami itu bukanlah sebuah mimpi yang mudah, itu adalah mimpi yang sangat sulit. Tetapi bukankah mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia? Bukankah semua berawal dari mimpi? Bahkan Muhammad bin Abdullah—seorang yang paling berpengaruh sepanjang masa—pernah bermimpi untuk mengembalikan moral bangsa Arab. Hal yang kemudian menuntunnya untuk menyendiri di gua Hira’. Tolong jangan debat saya soal ini, aku belum memastikan secara akademis, aku baru menelusuri buku Sejarah Tuhan -nya Karren Amstrong.

Menjadi penulis besar seperti apa, belum terpikirkan. Seperti idolaku JRR Tolkien kah? Langit Kresna? Atau seperti yang sudah sangat banyak mempengaruhiku, Khalil Gibran? Hahaha menyedihkan sekali untuk bermimpi setinggi itu ketika bahkan style menulis pun aku belum punya.

Seperti soal music yang aku menerima setiap genre, soal menulis pun aku menerima semua style. Dan gaya menulis ku sama sekali belum kelihatan atau bahkan mirip dengan gaya penulis-penulis favoritku. Ini yang membuatku resah, aku belum menemukan jati diri soal menulis. Aku masih menulis apa yang ada dalam pikiranku sekarang.

Caraku menulis seperti sekarang ini memang memiliki banyak keuntungan, yaitu aku tidak pernah akan kehilangan ide… tapi itu sangat beresiko aku tidak bisa membentuk trademark dan itu akan membuatku sulit untuk menentukan genre tulisan-tulisanku. Seperti hingga hari ini, meskipun sudah banyak tulisan yang aku buat di dalam draft, aku belum bisa menyusunnya untuk menjadi sebuah buku. Aku baru saja selesai menulis novel tentu saja itu bisa menjadi counter exampel, tapi itu tidak cukup.

Ah sudahlah… artikelku sekarang ini malah semakin tidak memiliki bentuk dan mau dibawa kemana… persis ini adalah karena kegalaunku sekarang, hingga tak tahu tujuan menulis artikel yang satu ini. Baiklah aku masukkan saja dalam tag catatan pena. Maaf untuk pembaca aku telah membuatmu tidak nyaman dengan tulisan ini.

Selamat Akhir Tahun

Andy Riyan, Desember 2016

13 Comments Add yours

  1. shiq4 says:

    Klo sudah punya mimpi itu udah bagus. Bandingkan dengan sikap realistis saya. Di satu sisi kehidupan saya mungkin jarang mengalami kekecewaan, namun sisi lainnya, jika diambil negatif, tidak berani mengambil risiko. Jadi hidup serba monoton di zona nyaman.

    Inginnya sih punya satu saja impian atau beberapa, kemudian berusaha mewujudkannya. Tapi takut semua usaha akan sia-sia dan berakhir dgn kegagalan.

    Liked by 2 people

    1. jejakandi says:

      Hemmm terimakasih sudah mengingatkan, mas. Keadaan mas Shiq4 itu juga yang aku alami sepanjang tahun 2016 ini. Ironis sekali, padahal aku sudah menulis tentang berbahayanya sikap realistis dan sok tahu tentang hari esok pada sebuah cerpen. Sekarang sudah masuk tahun 2017 yuk mas, bikin lagi sebuah harapan dan cita-cita. Mungkin sudah terlambat… Tapi itu lebih baik kan? Daripada tidak sama sekali.

      Liked by 1 person

  2. veera says:

    Mas, aku baca ini udah kayak nyemplung di dunia filsafat…
    okeoke, setiap hal punya filosofinya masing-masing. aku tahu. cukup, gausah diperjelas.
    tapi ini..
    gara-gara ini, aku jadi bertanya-tanya sendiri, sebenernya siapa aku ini? Ah -_-

    Liked by 1 person

    1. jejakandi says:

      Maaf lho mbak, enggak bermaksud mengobrak-abrik kedamaian mu. Ini menulis untuk diri sendiri lho ya. Hahaha
      Kalau kata Descrates: Aku berfikir maka aku ada. Kalau kata aku: aku menulis maka aku ada. Wkwkwk

      Liked by 2 people

      1. veera says:

        Aku sih, aku ada maka aku menulis 😂😂😂

        Like

      2. jejakandi says:

        Wah keren dong, berarti menulis sudah bukan cara untuk tetap eksis. Tapi menulis memang sudah produktivitas mbak veera.

        Liked by 1 person

      3. veera says:

        Bukan-bukan-bukan. Lebih sederhana sih, pas nulis gitu tadi ga mikir filosofinya jauh kesana. Tapi karena kalo aku gak ada juga gabakal bisa nulis heheh

        Like

      4. jejakandi says:

        Oh sesederhana itu 😂 maakan saya yang suka mengada ada 😂

        Liked by 1 person

      5. veera says:

        Ya. Ntar tak makaan

        Like

      6. jejakandi says:

        Aduh typo… 😩

        Like

  3. anisaa19 says:

    Menginspirasi sekali , setelah baca tulisan ini, saya langsung lari ke rak buku cari buku filsafat demi cari arti pragmatisme…hahaha terima kasih….saya jadi belajar lagi filsafat….😄😄😄

    Liked by 1 person

    1. jejakandi says:

      Terimakasih juga, Mbak Nisa. Senang sekali bisa menginspirasi 🙂
      Oke selamat belajar and happy longlasting study 😃

      Liked by 1 person

Katakan sesuatu/ Say something

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.