This is note I wrote in the end of the year. Catatan ini aku tulis sebagai salinan dari catatan di buku pada malam terakhir sebelum ganti kalender. Jadi aku mempublikasikan catatan ini dulu. Catatan tentang hari pertama tahun baru, biar saya simpan saja untuk nanti. Dari pada catatan ini jadi basi karena kehilangan momennya.
Well, catatan itu aku buka dengan kalimat: aku tidak tahu mengapa momen-momen seperti pergantian tahun bisa sedemikian heboh. Dan yang lebih mengundang keherananku yakni dari tahun ke tahun selalu sama; refleksi, resolusi dan harapan. [Resolusi ki yo harapan kui, Ndi! Boros kata-kata! -_- netizen fiksi sedang mengomyang saya]
Apa semuanya memang harus berubah, harus berganti seiring dengan pergantian tahun? Tidak bisakah hanya dilanjutkan saja. Tidak bisakah tidak harus lebih ini lebih itu, lebih banyak ini lebih banyak itu, mengurangi ini mengurangi itu? Tidak bisakah? Kan semua itu sudah dipatok dari awal bahwa semuanya harus lebih baik, harus bisa mencapai ini itu? Bukankah menjadi lebih baik itu harus kontinu, berkelanjutan, kalau sudah baik atau belum baik, bukankah tinggal melanjutkan saja? memperbaiki saja? [Oh tida! Resolusi kami tidak seperti resolusimu, resolusi kami adalah target tahunan.] Oh jadi begitu?
Tapi apa hak ku sebetulnya mengomentari momen seperti ini? [Yo semua orang punya hak, Ndi. Termasuk kamu.] Apalagi cuma berkomentar, itu hak semua orang. Masa mau berkomentar saja kita mesti ngurus surat ijin berhak segala. Repot! Repot Bro! Urusan birokrasi yang nyata-nyata memang urusan administrasi saja enggak kelar-kelar apalagi urusan mengenai hak semua orang. IQ?
Dan juga, faedahnya mengomentari momen-momen ketika semua orang sudah terbiasa melakukan ini apa ya? Dan paling penting, ingat ini yang paling penting, apakah saya mengomentari semua ini sudah mengedepankan kemanusiaan? Demi kemanusiaan dan karena rasa kemanusiaan?
Toh jika belum mengedepankan kemanusiaan, demi kemanusiaan dan dengan rasa kemanusiaan ngapain pula saya berkampanye “Tahun baru mbok biasa wae”. Semua itu untuk apa? Faedahnya apa? Apa kamu akan berkampanye “tahun baru mbok biasa wae” itu karena demi memuaskan egomu? Jika demikian kamu cuma nyari perhatian dan gara-gara, sudah habis perkara.
Urusan itu—merayakan tahun baru dengan refleksi dan resolusi— adalah urusan masing-masing orang yang terlibat. Bisa jadi mereka memang terbawa arus, bisa jadi mereka memang ikut-ikutan bersuka ria tanpa mengetahui makna dan tidak pula menyadari apa yang mereka lakukan. Kemungkinan semua itu bisa terjadi dan sangat mungkin terjadi tapi, kalau mereka tak rugi apa-apa tak merasa rugi tak merasa dirugikan atau tak tahu kalau mereka sebetulnya terseret arus, mbok yo ben ya. Toh mereka juga senang, bahagia, gembira [senang, bahagia gembira kui podo wae, Ndi! Boros kata-kata. Netizen fiksi nyinyir deh] menikmati momen itu. Apa yang lebih berarti dari hidup ini dari pada bahagia?
Apa jangan-jangan kamu ini iri ya, mengapa sinis dengan perayaan tahun baru, refleksi dan resolusi. Jangan-jangan kamu iri karena tak mampu makanya kamu sinis! Ahmak! Paranoid! Butek! Suudzon! Sesat! Ora genep! Kurang sak jemuah! Apa lagi ya? Bisa tolong ditambah daftar panjangnya.
Oke baiklah kamu tidak iri dan tidak sinis karena memang tidak. Kamu tidak ahmak, karena memang tidak. Tidak paranoid, karena memang tidak, tidak butek karena bening sebening aqua air pegunungan. Tidak suudzon, karena menag hidup dengan selalu berhusnudzon. Tidak sesat karena punya google map. Ora ora genep, karena memang genep segenep ongko 2. Tidak kurang sejemuah pun, pokoknya lengkap. Baiklah! Karena kamu hanya ingin berbeda pendapat dengan pendapat kebanyakan, hanya ingin berdialektika, hanya ingin kontra ketika banyak yang pro, hanya ingin positif karena tidak jalan kalau semua negatif, hanya ingin tidak baik karena hidup ini gak berjalan kalau semua orang jadi baik menurut versimu. Jadi memang begitu kan?
Enggak juga? Ah terus opo?
Oh iya? Jadi memang benar iya?
Ya sebetulnya berbeda pendapat juga enggak papa. 3s kok! [Giamana saksi?! jawaban saksi: Sah sah saja!] TAPI!!!! Faedahnya apa juga sampeyan ngoyo banget dengan pendapatmu itu? Bener juga ya… ya kan bener kan? Kalau suka tinggal tiru kalau tidak teko meneng lak yo beres! [diam saja! beres habis perkara]
Lha terus tujuanmu menulis ini untuk apa? Lha yo nek gak seneng teko meneng wae kok! Ndadak nulis segala. Ya tujuanku nulis ini, ya nulis aja berdialog dengan diri sendiri. Menambah jumlah tulisan. Mengasah skill, ketrampilan dan macam macam. Ehe!
Ehe! Selamat tahun baru, saya Andy Riyan, dari Desa Hujan.
Sebagai netijen yg gk suka ngikut2 perayaan gegap gempita tahun baru. Pikirku mungkin “mereka” ini cuma ikut2tan tren, euforia sesaat,
LikeLiked by 1 person
Fixed! Njenengan memang tim suudzon kok mbak 🤣🤣🤣
LikeLike
Aduh, tersandung sayanya.. 😂
LikeLike
Untung gak tersandung rasa, kalau sampai tersandung rasa… haduh. 😆
LikeLike
Suka dengan kalimat refleksi, resolusi dan harapan…😆tapi iya juga sih kok tahun baru identiknya dengan 3 kata itu..😅😅
LikeLiked by 1 person
Tadinya mau pakai komentar resolusi 2019 apa? Salah nih pertanyaan harusnya resolusinya berapa, aku jawab 72 pixels. Tapi gak jadi.
LikeLike
Hahaha bisa aja deh…😆😆
LikeLiked by 1 person
Yah aku malah buat resolusi bulanan mas wkwj, ojo dihuhat 😀
LikeLike
Aseeeek! Gak capek tuh tiap bulan beresolusi? Bagusnya kalau bisa evolusi 😂😂😂 santai tugas menghujat sudah dilimpahkan ke netizen. Saya bukan netizen, Mas 🤣
LikeLike
Enggak juga. *pasti dibilangin, udah mamak sih*
Yang mau ngerayain, jangan lupa ada tetangga yg ga ikutan, berisiknya dijaga.
Yang ga ngerayain, tidur wae, bisa bangun pagi sambil senyum sama fajar.
Yang buat resolusi dkk, di-Aamiin-kan, *nebeng utk diri sendiri* 😀
Semua dibuat mudah.
LikeLiked by 1 person
Woooooaaaaah saya tidak bisa tidak setuju dengan pendapat ini. Kata-katanya tak sebombastis quote-quote yang instrumental.. Tapi maknanya ngena pas banget sama inti postingan ini. Keren mbaknya ini angkat topi. 🎩 🎩 🎩 terima kasih sudah mampir dan memberi komentar. ☺️☺️☺️
LikeLiked by 1 person