Avonica, Tahun 871 (menurut penanggalan Avonic)
Lea adalah seorang gadis desa dari sebuah negeri yang didiami oleh Bangsa Avonica. Meskipun hanya keturunan rakyat biasa, Lea sangat manis seperti seorang putri bangsawan Avonica yang tinggal di balairung istana raja-raja. Lea gadis periang itu sering terlihat sedang bernyanyi ketika memetik sayuran di kebun yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
Hari itu matahari telah condong ke arah barat. Dan seiring dengan mulai meredupnya cahaya sebelum senja, bayangan bukit tampak semakin panjang meneduhi kebun-kebun tak berpagar dan penuh dengan sayur-mayur. Semula bayangan yang hanya meneduhi kebun-kebun itu pun kini telah mencapai perbatasan padang rumput Leicester yang sangat luas.
Di bawah bayangan bukit itu, udara sejuk senantiasa bertiup dari arah rerumputan hijau dan ilalang-ilalang di padang Leicester. Padang rumput dari ilalang yang tumbuh tinggi setinggi pinggang orang dewasa itu tampak seperti lautan hijau yang mulai menguning.
Udara berbisik halus mengalun bagai musik berhembus menyelinap di sela-sela pepohonan, yang tumbuh rindang, di perbatasan antara kebun dan padang rumput. Karena music, ranting-ranting pun berkeriut dan ikut bernyanyian mengiringi nyayian sang gadis kecil.
Saban sore gadis kecil berambut keemasan itu pergi ke kebun bersama ibunya untuk memetik sayuran hijau; sawi dan kubis juga terong dan kacang-kacangan yang banyak tumbuh bergelantungan di lanjaran-lanjaran bambu yang ditancapkan di atas tanah gembur.
Seringkali gadis kecil itu suka menerobos di antara rimbun dedaunan tanaman dan gatal. Saking asiknya menyelinap, ia tak sadar sisi tangan dan pipi telah ia gruk-garuk hingga berbentol-bentol memerah.
“Ibu!” Teriak Lea dengan merapatkan kedua tangannya yang berjemari kecil-kecil panjang dan membentuk corong di depan mulutnya. “Bolehkah Lea bermain di padang rumput?”
“Tak usah, Lea,” Seru sang ibu yang juga sedang memetik sayuran di sisi yang lain di kebun itu “hari sudah mulai gelap, sebentar lagi malam tiba.”
Lea anak yang berbakti, ia menurut.
Lea bersenandung lagi, kadang bersiul, kadang menari.
Segera Lea memenuhi keranjang sayurnya dengan tomat dan kubis. Sesekali ia memilih-milih untuk memetik labu. Namun, pada akhirnya ia tak memetik satu pun.
Kemudian ketika angin mendesah bertiup, entah darimana datangnya, muncul seekor anjing gelap yang berukuran sangat besar, sebesar kambing. Meskipun terkejut Lea tidak lari. Karena anjing itu sudah ia kenali sejak lama.
Lea sering pergi ke kebun sendirian dan suatu hari ketika ia sedang bermain di padang rumput ia menemukannya, anjing malang yang terluka. Lalu Lea pun mengambilnya, mengobati, merawat dan membiarkannya lepas. Sambil berteduh di salah satu pohon besar di perbatasan antara kebun dan padang rumput, ia membebat luka anjing itu dengan kain yang dirobek dari selendangnya. Dan sejak saat itu, anjing itu menjadi sahabat Lea yang setia.
“Hei, Manis! Kau membuatku kaget, tau!” Dengus Lea seolah ia bisa berbicara dengan anjing.
Anjing itu diam saja, tentu saja diam, karena anjing memang tidak bisa berbicara dengan manusia. Namun, Ia adalah anjing yang cerdas, ia menantap penuh arti kedalam mata Lea lalu ia menoleh ke arah hutan yang lebat dan gelap melalui padang rumput Leicester lalu kembali menoleh kepada Lea.
“Apakah ada sesuatu di hutan sana, Nard?”
Seoalah menjawab pertanyaan Lea, ajing yang memiliki nama Nard langsung melesat lari masuk ke dalam padang rumput ke arah hutan.
Tanpa berpikir panjang, Lea meninggalkan keranjang sayurnya dan mengejar Anjing hitam yang mengonggong-gonggong itu. Meski sebenarnya ibu Lea tidak jauh dari sisinya, namun lebatnya kebun itu membuat ia tak menyadari Lea telah pergi.
Anjing cerdas bernama Nard itu tidak menghentikan larinya bahkan tidak pula mengurangi kecepatannya. Ia terus berlari dan mengonggong-gonggong ribut. Dan ketika samar-samar mulai terdegar deru suara arus sungai, Nard mengurangi kecepatan langkahnya. Ia menoleh ke arah Lea yang tergopoh-gopoh menyusul di belakangnya. Nard kemudian berhenti. Lidahnya terjulur dan ekornya dikibas-kibaskan menunggu Lea menghampiri.
“Aduuuuuh! Capek! Perih!” Keluh Lea merasakan lengan dan pipinya yang sakit akibat menerobos semak-semak. “Sekarang mengapa berhenti, Nard?” Sadar Nard tidak bisa menjawab pertanyaannya lantas Lea mengedarkan padangan di sekitarnya. Ia melihat sekeliling. Rumput-rumput dan alang-alang tumbuh setinggi bahunya menghampar sejauh mata memandang ke arah timur yang warnanya semakin memudar di telan kegelapan. Lalu ia mengarahkan pandangannya ke arah utara, hutan lebat dengan pohon-pohon berukuran raksasa meninggalkan jejak bayang-bayang yang serupa dengan malam.
“Guuuk!” si Nard memecah kosentrasi Lea
“Ada apa?”
“Guuuk!” Nard berjalan lagi menerobos sisi rumput dan alang-alang yang tumbuh lebih pendek, hanya selutut Lea. Lea mengikutinya.
Perjalanan seolah melambat dan terasa lama. Lea mulai cemas, takut dan khawatir. “Nard, Ayo pulang saja, nanti ibu…” Lea belum menyelesaikan permintaannya ketika ia melihat Nard berhenti di depan seonggok mayat.
Potongan Scene yang pernah membuat saya bermimpi untuk menjadi penulis Novel. Terima kasih sudah mampir dan membaca satu potongan cerita yang tersimpan di memori-memori terindah saya. Pertanyaan-pertanyaan dan komentar dari para pembaca akan membantu penulisnya untuk menemukan plot yang masih gelap. Akan membantu menyelami kegelapan-kegelapan memori-memori yang tersimpan kabut pertanyaan. Menemukan snowflake sendiri kadang tidak mudah. Sekali lagi terima kasih sudah mampir dan membaca. Sekian dan sampai jumpa.