Judul alternatif : Godaan terbesar saat ingin membaca dan menulis.
Semua yang ditulis di sini adalah apa yang aku alami, jadi maaf ya kalau aku egois dan tak bisa berpendapat dengan objektif—termasuk pemilihan judulnya yang klik bait ha ha ha. Tulisan kali ini, seperti biasa, akan sedikit atau banyak membicarakan tentang—sorry karena aku narsis banget—diriku sendiri. Terutama tentang hal-hal yang berkaitan dengan godaan-godaan terbesar yang sering menghambat saya ketika ingin (dan dalam proses) tulis-baca. Dan sedikit cerita bagaimana cara saya mengatasinya.
Jadi aku sekarang ingin tanya, pernah nggak?
Saat kamu sudah duduk dan bermaksud untuk menulis dan membaca, tiba-tiba tanpa sadar… kamu sudah tidak lagi fokus pada kegiatan menulis dan membacanya?
Padahal…
Ketika itu, kamu sudah dalam proses menulis dan kenapa malah jadi mangkir.
Pernah nggak mengalami hal yang kayak gitu? Kenapa?
Kalau aku sih, aku bisa menjawab biasanya itu terjadi karena aku sudah capek dan males.
Sudah mulai merasa bosan karena tak bisa—tak mau!—meneruskan lagi. Tak bisa merumuskan alurnya harus apa dulu dan kemana dulu padahal loh sudah clear… sudah sangat jelas apa yang akan ditulis. Malas menghubungkan antar kalimat dan antar paragraf biar nyambung.
Kalau kamu pernah mengalami hal seperti itu… asik berarti “aku” tidak sendirian. Hore ole ole ole aku ora dewek an…
Aku sering mengalami yang seperti itu. Tetapi kurang lebih itu karena kemampuanku untuk terus menuliskan sampai akhir masih lemah. Komitmen untuk menyelesaikannya masih lemah. Dan ini mungkin karena (disebabkan oleh banyak hal, seperti) masalah psikologi yang selama ini kualami.
Ya mungkin masalah psikologi yang disebabkan oleh banyak hal.
Seperti karena aku sudah keseringan membaca buku tidak sampai tuntas. Sering juga menulis tidak sampai tuntas. Membuat cerita juga tidak sampai tuntas. Berbicara juga sering tidak sampai tuntas, dan sering bikin kesel orang karena tidak diteruskan, “Piye to? Sakjane mau ngomong apa sih?” kata mereka 😀 Sering juga yang terjadi saat bercerita, juga tidak sampai tuntas, nanggung di tengah-tengah 😀 Bekerja juga kadang belum tuntas aku sudah cabut karena capek dan karena kekurangan motivasi. Masalah yang akut.
Dan aku juga tidak tahu mengapa aku menuliskan sederet absurditas ini, ya. Membicarakan aib sendiri. 😀 😀 😀
Sebelum aib ini dibicarakan oleh orang lain, sebaiknya biar aku katakan saja. Aku gak mau kalah dong soal membicarakan aib diri sendiri. Emang cuma mereka yang bisa membicarakan aib? Aku juga bisa, Woi!!! 😀
Dan aku masih enggak paham mengapa masih bisa menambahkan berderet-deret absurditas yang lain. Tapi… jika menulis adalah obat bagi jiwa yang tersesat… boleh jadi dengan menumpahkan keabsurditasan ini, jiwaku menjadi terobati. Karena aku berulang kali membuktikan bahwa menulis dapat membantu seseorang mengatasi trauma dengan rasa aman. Dan dengan jurnal jejakandi ini, aku membebaskan diriku. Jurnal ini mungkin adalah teman terbaikku. Dan mungkin kamu kamu, silent reader adalah temanku juga. Terima kasih telah mengobati.
Kembali lagi kepada godaan-godaan terbesar saat membaca dan menulis. Sementara ini aku tuliskan empat saja dulu yaitu: hape, ngantuk, waktu dan kenyamanan.
Tapi sebelum membicarakan empat masalah di atas, aku mau bercerita lagi.
Ini orang kenapa cerita melulu ya? Mungin karena aku tidak memiliki banyak pendengar di luar sana di luar jurnalku. Makanya aku banyak bercerita di sini.
Ketika menulis artikel (?) ini, sebetulnya aku juga sudah agak malas untuk menyelesaikannya. Karena memang terbukti lagi bahwa saat ini tidak ada motivasi. Aku tidak punya tujuan menulis semua ini untuk apa. Tidak ada motivasi kepada siapa aku menulis. Kepada siapa aku ingin pamer. Dan kepada siapa aku ingin unjuk kebolehan; kepandaian aku di bidang menulis acak, ngawur dan tak ada aturan ini. Tidak ada seseorang yang kepadanya aku ingin caper. Jadi beginilah… jadi sering malas untuk menyelesaikan dan mempublikasikannya sehingga sering tidak tuntas. Dan aku mulai sadar, saat proses menulis semua ini setiap hari, kalau ini adalah suatu tahapan dalam perjalananku; apakah aku akan menyerah dan berhenti sampai di sini saja. Aku sadar kalau yang sedang kualami itu merupakan suatu penyakit yang harus diselesaikan dan disembuhkan. Mungkin dalam perjalanan ini aku akan bisa mengatasinya lagi. Sabar. Tetapi lebih dari semua itu… adalah karena aku males ngedit.
Baiklah godaan pertama adalah hape.
Hape atau HP atau handphone sering dapat mengalihkan diriku dari kegiatan membaca dan menulis dengan… anjrit… sangat berhasil.
Kentang memang.
Baru saja aku membaca sedikit dan… bahkan mungkin belum sempat menuliskan di kepala agar dapat mudah dicerna, aku sudah gatel ingin memegangnya; dan memeriksa apa yang sedang terjadi dalam hapeku.
Ujung-ujungnya, tetiba saja jemari sudah bergerak otomatis; memencet sederet aplikasi. Kebanyakan yang jadi korban pemencetan adalah medsos. Dan kemudian tanpa sadar lagi, aku sudah berselancar dengan internet di sana. Sedang membaca update-tan status WA, membaca timeline Twitter dan memperhatikan hal-hal yang sedang viral, menonton dan membaca apa saja yang sedang terjadi dan menjadi trending.
Sangat memuakkan sebetulnya… kok bisa terjebak dalam situasi yang tak pernah trencanakan seperti itu. Tiba-tiba saja sudah berada di sana dan sudah sulit untuk lepas. Sulit untuk keluar dari keasikan dan kenikmatan yang sungguh semu itu.
Dan dalam keasyikan itu, saat menunggu jeda karena sedikit bosan, bukannya kembali kepada menulis dan membaca, aku biasanya tertarik untuk membuka Youtube. Youtube sodara sodara… youtube!
Dan ketika sudah sampai pada level youtube, aku biasanya bisa nonton sampai capek dan sampai males semales-malesnya. Puncaknya adalah ketika sudah sampai tahap males mau ngapa-ngapain lagi—seringnya bisa sampai jatuh tertidur saat menonton. Setelah itu, kalau tidak sampai tertidur, biasanya buka medsos lagi. Masih sama bolak-balik dari twitter ke instagram [untungnya sekarang instagram sudah sangat jarang dibuka, tapi masih belum sepenuhnya bebas, karena sampai hari ini aku belum bisa dan masih belum tahu caranya bagaimana menghapus akun instagram. Di sini apakah ada yang bisa membantu saya bagaimana cara menghapus akun instagram menghapus secara permanen?] dan balik lagi ke WA. Kemudian ke portal berita yang muncul di beranda browser itu. Padahal ya beritanya receh banget, tapi judulnya memang klik bait, suka mengelitik untuk membukanya. Kentang banget dunia ini! Semakin kentang menghadang dan membentang dan entah akan jadi kentang yang bagaimana lagi.
Jadi ini kutukan atau apa ya namanya… Intinya sih paradok sekali: kalau baterai awet, jadi semakin lengket dengan hape, sebaliknya kalau baterainya boros jatuhnya kesel. Paradoks sekali intinya: kalau internet lemot bikin kesel dan bikin semakin lama berlama-lama dengan hape karena mengunggu loading, menunggu replies terkirim. Namun kalau internet kenceng, malah jelajahnya semakin luas, daya jelajahnya semakin jauh dan semakin ingin tahu ke penjelajahan yang lebih jauh. Dan habis lagi waktunya. Masalah psikologi yang ditimbulkan dari hape ini memang sungguh menakutkan. Mengerikan sekali ternyata makhluk yang bernama hape ini. Sial. Sungguh sial kenapa aku harus tersentuh dengan gadget macam begini.
Godaan yang kedua adalah kantuk, ngantuk dan memosisikan diri untuk terserang kantuk.
Godaan yang terbilang sangat menggoda dan sangat menggairahkan apalagi ini terjadi ketika sepulang kerja. Sambil istirahat: selonjoran, rebahan dipinggir jendela yang semilir udara sejuk berhembus, meriah suara burung, suara celoteh anak-anak kecil, riak angin yang berbisik… seperti musik…. Duh! mana tahan dengan godaan semacam ini untuk tidak memosikan diri sedemikian sehingga otot-otot menjadi kendor dan lemas dan akhirnya menjadi lengah dan tak bisa lagi terjaga. Tak bisa lagi menahan datangnya kantuk yang bersamaan dengan situsi itu. Nikmat banget soalnya. Sulit ditolak kehadirannya dan akhirnya tertidur hingga agenda berikutnya. Dan waktu semakin habis untuk digunakan sebagai kegiatan menulis dan membaca.
Gangguan yang ketiga adalah waktu yang semakin sempit. Semakin ke sini, semakin sulit untuk memiliki waktu yang lapang. Sulit untuk merasa luang dan tidak mencemaskan apapun. Sulit untuk memiliki waktu yang tenang; hanya ingin menikmati waktu untuk membaca dan menulis. Semakin sulit untuk menemukan waktu yang seperti itu. Karena entah apa. Seperti ada sebuah masalah psikologi baru: karena semakin bertambahnya urusan, semakin bertambahnya relasi dan semakin bertambahnya umur. Entah mengapa untuk bisa menemukan waktu tanpa mencemaskan apapun itu sebegitu sulitnya.
Dulu speertinya aku tidak pernah terpikirkan kalau waktuku akan terpotong oleh acara kondangan, acara takziah, acara genduren, acara mujahadah acara-acara yang sifatnya ringan tapi sering terjadi tanpa jadwal yang tertentu. Kapanpun bisa datang kapanpun bisa terjadi. Waktu yang sedemikian sempit dengan seabrek acara dan kadang ditambah dengan acara-acara di luar waktu yang sudah tersusun rapi setiap harinya.
Itu sangat menjengkelkan.
Tetapi lagi-lagi… inilah resiko tinggal di desa.
Inilah resiko kembali untuk menjadi masnusia yang hidup di tengah banyak orang, di tengah keluarga, di tengah kampung di mana aku lahir dan dibesarkan dalam pergaulan.
Tetapi anehnya di sini aku sekarang tidak memiliki teman seperti dulu ketika aku meninggalkan kampung halamanku. Semua sudah menguap. Semua sudah berubah. Hanya tersisa kehidupan yang demi umumnya demi keramahtamahan demi kepantasan ini… benar-benar hidup yang konyol.
Karena setiap acara ekstra itu, yang semakin menjengkelkan, adalah tidak hanya menyita waktu produktif. Saat kegiatan itu ada dan sedang terjadi. Jelas akan banyak waktu yang terbuang untuk perjalanan, persiapan, menunggu dan kadang untuk mengobrol yang tidak jelas ujung dan pangkalnya kemana obrolan ini. Sangat memakan banyak waktu dan basa basi yang tidak karuan ini menyebabkan banyak hal yang harus dikorbankan.
Belum ditambah budaya atau entah ini bisa disebut budaya atau tidak, budaya yang sangat buruk ku kira, yaitu jam karet. Mereka pikir mereka penting dan perlu untuk datang terlambat, untuk datang mengaret dan untuk alasan yang aku tidak mengerti (?)
dan untuk alasan yang coba kupahami (?)
dan untuk alasan yang aku tidak boleh memandang dari sudut pandangku sendiri (?)
Jika aku harus menyebutkan satu hal terbodoh yang aku jumpai di dunia ini. Ya persepsi. Persepsi adalah satu hal bodoh dari banyak hal bodoh yang aku jumpai di dunia ini.
Jam karet ini benar-benar tak bisa aku mengerti mengapa harus ada.
Dan sialnya aku tidak suka datang terlambat ke suatu acara. Karena aku males jika harus bersalaman berkeliling. Mendingan aku yang mengulurkan salam terlebih dahulu untuk orang-orang yang datang. Dan lebih sial lagi, aku tidak bisa membaca tau menulis saat menunggu, sebab aku adalah termasuk penuntut kosentrasi tingkat tinggi, untuk melakukan sesuatu dengan sempurna dengan menikmatinya dengan rasa yang bahagia. Aku penuntut kosentrasi yang benar-benar sampai ke tingkat fokus total. Aku menuntut kosentrasi pada hal-hal yang ingin aku lakukan. Jika ada banyak hal yang aku lakukan, aku tidak bisa mengerjakan semuanya sekaligus. Harus satu-satu. Dan mana bisa aku menulis dan membaca sambil menunggu seseorang? Sambil ngobrol dan basa basi? Sambil memandangi jam karet dengan gelisah? Dan sambil tak tentu arah? Mana bisa aku menulis dan membaca dalam kondisi seperti itu. Aku penuntut fokus yang teramat amat sangat. Jadi penuntut fokus itu gak enak, teman. Jauhilah kalau bisa 😀 😀
Yang keempat adalah soal kenyamanan. Menemukan kenyamanan dalam membaca dan menulis, bagiku, itu tidak mudah. Kadang-kadang memang ada waktu untuk membaca dan menulis dan aku bisa mengatasi hape, tidak terpengaruh olehnya, untuk tidak terjebak dalam dunia virtual itu. Tapi… kadang-kadang aku sedang tidak merasa nyaman. Tubuhku sangat lemah. Dan aku sangat lelah fisik dan otak. Kadang yang terjadi juga seperti itu: sangat lelah. Akhirnya males-malesan lagi dan mangkir lagi. Enggak jelas begitu. Hanya memandangi langit dan mendengarkan angin berbisik yang menggoyang-goyang dedaunan di halaman.
Itu adalah empat hal yang paling terasa.
Tapi ketika aku menengok penulis-penulis besar yang sangat produktif. Kebanyakan dari mereka justru adalah orang yang super sibuk. Dan mereka bisa. Setiap begitu… setiap menengok mereka, rasanya aku ingin gigit sandal.
Jadi kesimpulannya… cara saya mengatasi semua masalah itu adalah dengan membuat kesimpulan seperti ini: Tidak ada waktu untuk membaca dan menulis itu adalah alasan yang paling konyol dan omong kosong. Paling bulshit! Alasan tengik yang digawe-gawe. Alasan paling brengsek yang digawe dewe.
Saya Andy Riyan dari desa hujan.
Alasan Paling Konyol dan Omong Paling Kosong © 2019
Note: Dengan mengikat makna aku bisa dengan membaca satu halaman menghasilkan hampir 2000 kata!
Selamat, Mas, njenengan mboten dewekan kalau masalah tiba-tiba menulis atau membaca berhenti di “tengah jalan”. Ada saya yang juga (yang tidak jarang) mengalaminya. Membaca berhenti di tengah jalan biasanya dikarenakan pada bagian tertentu dari suatu buku kurang menarik menurut saya. Jadi ya gitu deh, lompat-lompat nyari bab yang menarik saja. Hehe
Nah, kalau masalah menulis yang bisa tiba-tiba berhenti di tengah jalan karena mood menulis sudah ambyar atau sebenarnya saya sendiri bingung dengan apa yang sebenarnya mau saya tulis. Mungkin saat nulis paragraf awal bisa lancar tuh, tapi selanjutnya kok jadi bingung ya dengan apa yang mau saya tulis. Akhirnya berujung pada simpan sebagai draft dan entah kapan melanjutkan dan menyelesaikannya.
LikeLike
Ha ha ha asik, ada temennya. Ho ho ho. Pada bagian tertentu kurang menarik membut njenengan berhenti di tengah jalan? hemm logis sih.. dan maunya lompat-lompat cari topik yang suka? Tapi aku kok gak pernah begitu ya… bahkan ada sebuah buku yang pengantarnya itu panjang banget sampai sekitar 400 halaman… tetep saja sebelum masuk ke bab pertama halaman ini harus aku baca dulu. Entahlah… aku ini pembaca macam apa.
Ha ha ha ternyata enggak cuma hati dan hari hari yang bisa ambyar, mood menulis juga bisa ambyar. Bisa banget tuh mood ambyar dan bingung mau kemana… kita banget ya. Ya betul dan simpan draft hingga ratusan draft tak pernah diselesaikan… Tapi sudah cukup kan, yang penting sudah menulis, walau hanya jadi draft.
Terima kasih sudah berkunjung, salam dari saya Andy Riyan. 😀 😀
LikeLike
Kalau nulis atau kerjaan apa pun yang membutuhkan waktu ya emang gak harus selesai, makanya perlu dicicil. Apalagi nulis. Aku kalau nulis itu saking buntunya, kebawa tidur wkwk.
Orang-orang yang hampir-hampir addicted dengan sosial media emang perlu deh kayaknya ngerasain delete akun, yang ujung-ujungnya nyesel kayak aku. Wkwk mas jangan deh delete, mending fokusnya share kebaikan. Kadang kita menganggap semua informasi penting sampai kita gak beri ruang dan waktu untuk kita berkembang.
Trus WA, sumpah itu toxic parah. Aku udah lama memulai untuk tidak update WA, karna kalau update kita jadi kepikiran, trus bolak balik liat, dan akhirnya semuaaa kontak kita liatin. Udah gitu gak penting semuanya wkwk. Sesekali la, lihat update sahabat dan sanak keluarga, yang lainnya bodo amat maas.
Terus Yutub, yampun horang kaya mah gak masalah, aku sampe ngebudgeting untuk koata 50ribu aja malah sebulan, ya lebih dikitla. Untuk video-video menarik di YouTube, download pas lagi ada wifi.
Persistent itu gak gampang sih, tapi bukan berarti gak bisa ya kaan.
LikeLike
Lho tumbenan komen, kemana aja… Ooooo jadi tipe Antasari Malau itu gitu ya… gak komen kalau belum dikomenin?
Aku enggak gitu soalnya, kalau sudah kesimpen ya sudah lama ntar munculnya lagi… muncul itu kalau inget, kalau enggak ya mbuh jadi apa. Dan gak penting banget juga selesai apa enggak, yang penting aku masih konsisten menulis setiap hari, gak harus terbit di blog juga, gitu aja sih. Malahan aku sampai menahan-nahan jangan sampai keseringan muncul di blog.
Medsosku cuma tinggal twitter, Oi. facebook sudah lama sekali gak buka. Sudah kuhapus po ya jangan-jangan. Instagram mau kuhapus aja, tapi masalahnya aku belum nemu caranya bagaimana menghapus akun instagram. Share kebaikan? Halah… sekarang ini sudah teralu banyak orang bicara tentang kebaikan di medsos dan yang terjadi adalah isi yang kerang dan tak berjiwa, yang keren adalah bagaimana seseorang bisa diam, ketika banyak orang berbicara.
Iya toxic parah. Sebenernya aku sudah otw balik ke hape jadul, eh tapi kentang banget, gak ada orang yang mau sms, gak ada yang kasih informasi.. dan aku tiba-tiba kayak hidup di gua. Aku gak datang ke suatu acara disalahin gara-gara gak buka WA. Matek aku. 😀 😀 😀
Horang kaya gimana… sering dipakai Youtube aja kuota gak habis-habis. Mubadzir banget kan… ya sudah jadi teman pengantar tidur kan lumayan.
ini ngomentarin yang mana ya, kok bisa ke soal persistent?
LikeLike
Aku udah mikir duluan orang bakal mikir kayak gitu but who cares?!
Eh tapi gak gitu ya, kayaknya aku duluan ketemu akun Mas Andi dan kasih komen 😋
Sejujurnya udah lama gak aktif makanya pas tadi malam kepikiran buat postingan baru, jadi ngerasa bersalah gak seaktif dulu dan ‘seramah’ dulu kasih komentar wkwk
LikeLike
Ojeh.. bagus kalau gitu, kalau udah who cares itu beneran bagus.
Apa iya po? Ah gak inget aku.
Haha ramah mah ramah aja, dipaksa paksain atau dibuat buat ya jadi aneh.
LikeLike
Wah, ini tulisan dengan gaya ‘berbicara pada diri sendiri’, sangat menyenangkan membacanya. Saya jadi ikut serta dengan emosi penulis, naik turunnya.
Dialog pribadi yang menghasilkan tulisan, aaa….keren sekale!
LikeLike
Hahai, terima kasih apresiasinya, Mbak Ayu. Kalau bukan hubungan timbal balik ya, tapi komentar timbal balik. Awokokok.
LikeLike
Wkwkwkwkwk..
Salah satu cara untuk mencapai tingkat kesadaran diri atau sadar diri adalah melalui dialog aktif dengan diri sendiri.
Semangat!
LikeLike
daaaan anda tidak sendirian… karena aku pun mengalaminya. aaahahahahaha!! boleh lah kita tos dulu! *angkat gelas isi teh manis yang dikocok2 biar keluar buih dan disangkain bir*
4 hal yang menjadi “penghambat” itu pun sama juga dengan yg aku rasakan. tapi emang, yg paling besar sih masalah niat. jadi aku meng-amin-kan tulisan ini. tapi akhir-akhir ini aku lagi nyoba gaya baru… tuangkan semua yang terlintas, meskipun ga nyambung antar kalimatnya, abis itu baru muter otak untuk liat apa sih sebenarnya yg pengen ditulis. kali aja bisa disambung2 semua ide yg ga nyambung itu… hehehehehehe
LikeLike
Aseeek… ada temennya. Yok Tos!!! Tapi aku minumnya kopi, Mas. 😀 😀
Iya betul yang penting mah tumpahin aja semuanya dulu. Kalau backspace dan typo kok menganggu, ya udah lewatin aja. edit dan nyambung-nyambunginnya belakangan.
Happy Writing. 😀 😀
LikeLiked by 1 person
Ya, kadang juga begitu.
Mau nulis ada telpon, ada WA lalu lupa deh, nguap yang mau di tulis.
Jadi, sekarang lagi belajar menulis meski sebenarnya di kepala sedang tidak ada apa-apa ingin ditulis. Jadi belajar memaksakan otak untuk berpikir.
LikeLiked by 1 person
Justru ketika di kepala tidak ada apa apa untuk ditulis itulah, kalau aku, adalah saatnya untuk menarikan jemari dan mengikuti saja geraknya. Otak tak perlu dipaksa hanya perlu dilatih, menurutku. Terima kasih sudah berkunjung, Hanila.
LikeLike
enak banget Kak Andy masalahnya ada empat (dan mungkin lebih banyak). Aku masalahnya cuma satu. 😥
bts, aku baca komen2nya kenapa malah ngakak? *gagal fokus
oya, udah tau cara hapus ig? sini kuajarin wkwkwk xD
LikeLike
Wih enak dong cuma satu. Apa? Komitmen? Hahaha 😂 berat vroh! Berat!
Baguslah kalau bisa ngakak cuma gegara baca komen. Irit hiburannya.
Ha bisa? Gimana caranya?
LikeLike
ini juga. balasan komennya nggak kekirim xD gemesh
ga enak kalo cuma satu kak. nggak kenyang xD
komitmen mah urusan gampang (kayak yang udah bisa aja wkwk)
caranya: buka via web kak. nanti ada pilihannya di pengaturan
LikeLike
Haha gemesh.
Ah dasar kemaruk.
Widiiiih gampang. Ya iya percaya yang sudah pengalaman.
Oh begitu ya. Nntar aku coba.
LikeLike
Hapus instagram lewat web juga gak bisa. Cuma disable sementara, dan itu seminggu. Hadeh.
LikeLiked by 1 person
harusnya bisa loh. ._.
masa aku kudu coba hapus akun sendiri xD
LikeLike