[Cerpen] Naifnya Cinta

Naif Cinta

Pagi itu aku melihatnya sedang menyapu daun-daun mangga yang berserakan di halaman rumahnya ketika aku dan Kliwon tiba. Terakhir kali aku mampir ke rumah itu tiga tahun yang lalu, dan suasananya masih sama, sejuk. Ia tak meyadari kedatanganku sampai aku dan Kliwon mengetuk-ketuk teralis besi pagar rumah dengan arsitektur modern itu. Ia menoleh ke arah kami dengan pandangan bertanya-tanya, menyipitkan mata dan kedua alisnya mengerut berkumpul di dahinya. Karena sadar mungkin saja dia pangling setelah sekian lama tak bertemu, aku melepas helm dan kaca mata minusku dan melempar senyum semanis mungkin kepadanya.

“Ah Andi…” teriaknya setelah hampir 10 detik mengamati. Ia bergegas membuka pagar besi yang cuma setinggi dada.

“Hai Kristin! Kukira tadi aku salah orang atau kamu sudah sepenuhnya amnesia. Aku begitu cemas.” Aku menyalaminya.

Ia tertawa, “70 persen, amnesia.”

Lesung di kedua pipi Kristin kini tampak begitu nyata. Kesan terkuat yang teringat olehku tentang Kristin… ya lesung indah itu. Kini tidak samar-samar lagi setelah mengendap begitu lama dalam bayang-bayang.

Aku dan Kliwon kemudian menikmati suguhan secangkir kopi dan camilan biskuit. Duduk mengobrol di beranda rumah. Berkali-kali nostalgia dan bertukar kabar. Lalu tiba pada satu momen ketika semuanya menjadi hening. Senyap dan menegangkan.

“Sudah setengah tahun ini…” Kata Kristin lirih. Matanya menerawang jauh ke atas seakan-akan mampu menembus awan, “Aku tidak pernah mendengar kabar apapun tentang Albar…”

Hening menyergapku. Sebetulnya aku menanti-nantikan momen ini, tetapi ketika momen itu tiba, entah bagaimana sekujur tubuhku tiba-tiba dilanda hawa yang begitu dingin, darahku seperti membeku. Aku masih menunggu. Kristin mengerlingkan matanya kepadaku.

“Ada apa dengan dia?”

Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku, sebagai jawaban aku mengeluarkan sesuatu untuk dia dari dalam tasku.

Mata Kristin terbelalak melihatnya.

***

Di tempat lain di timeline yang berbeda, di sebuah ruang keluarga, hening bergelayut merambati malam. Sebuah asbak tergeletak sedih di atas meja, ia menampung abu lama yang telah mengeras, dan segunung abu baru yang pucat. Kopi-kopi tinggal setengah dalam gelas, menampakkan lingkaran hitam yang tingginya nyaris sama persis satu sama lain. Satu dua semut berlarian di meja yang lengket oleh lingkaran-lingkaran bekas kopi.

“Semalam kami sempat berdiskusi dengan Pak Haji Salim…”

“Aku tak paham maksudnya, Pak Dhe?” Albar merebahkan punggunya di senderan sofa di samping ibunya.

Orang yang duduk di seberang Albar dan di sapa dengan Pak Dhe itu mengerlingkan matanya ke arah Bu Aisyah, Ibu Albar, di depannya dan kepada Ayah Albar di sampingnya. Semua orang diam.

Pak Dhe menghisap rokok kreteknya dan perlahan-lahan mengepulkan asap dari bibirnya yang berkumis keperakan. Ia menjentikkan jarinya di atas asbak lalu menatap Albar dengan penuh perhatian.

“Kamu mengenal putrinya…” Kata Pak Dhe akhirnya dengan sangat hati-hati memecah kebisuan.

“Annisa.” Alis Albar terangkat.

“Kamu akan menikah dengannya.”

Bagai tersengat listrik, mata Albar terbelalak. Ia terhenyak di kursinya dan dunianya tiba-tiba goyah. Ia kaget setengah mati.

“Kami mendiskusikan ini, karena kami beberapa kali mendapati kalian sering jalan-jalan bersama. Kami mendapati kalian sering tersenyum satu sama lain. Kalian sudah menjadi buah bibir tetangga. Dan kami setuju untuk menikahkan kalian berdua. Kalian sungguh serasi. Annisa cantik, pinter, rajin mengaji, berbakti dengan orang tuanya. Ia juga sangat sopan terhadapan tetangga-tetangganya.” Jelas Ayah Albar. Ia seorang pendiam dan tak terbiasa berbicara panjang lebar, tetapi untuk Albar ia melakukannya.

“Lagi pula hasil hitungan weton kalian…. sempurna.” Pak Dhe menambahkan.

“Tidak. Aku telah memutuskan akan menikah dengan seseorang,” Albar menoleh kepada Ibunya, ia menatap lekat-lekat ke dalam mata ibunya, lalu katanya dengan lirih “Kristin.”

“Kristin?!” Bu Aisyah tersentak tak kalah kaget dan langsung muntab tak karu-karuan “Kristin seorang Kristen itu? Tidak Albar! Tidak!”

“Ibu tahu ia seorang Kristen?”

Kedua mata anak beranak itu saling bersitatap, membaca ke dalam pikiran satu sama lain. Lapisan-lapisan ingatan yang telah mengendap kini mengapung kembali. Setengah tahun yang lalu Albar mengajak teman-temannya dalam rombongan untuk mendaki gunung. Dalam perjalanan itu mereka singgah ke rumah Albar. Kristin ikut dalam rombongan itu.

“Ibu perkenalkan temen-temen Albar…” Albar menunjuk satu persatu teman-temannya “Ini Satria, Maulana, Ridho, Idris, Farisa, Laksmi, Nina…” mereka bersalaman berganti-gantian, “… dan ini… Kristin.” Albar tersenyum begitu pula Kristin.

“Kristin?” ulang Ibu Albar lirih.

Kristin tersenyum bersalaman dan mencium tangan Bu Aisyah.

“Ibu?” Albar memanggil. Menyadarkan ibunya dari lamunan.

“Kristen, Budha Hindu… Kamu tidak akan menikah dengan orang-orang ini. Kamu seorang Muslim, Albar! Ibu tidak akan pernah merestui kamu menikah dengan perempuan bernama Kristin ini!”

“Tapi, Bu!”

“Tidak!!!” tegas Bu Aisyah “Kamu seorang Muslim! Kamu tidak akan pernah menikah dengan seorang Kristen atau orang beragama apapun lainnya. Kalau kamu melakukannya… kamu tidak akan lagi menjadi anggota keluarga ini, namamu akan di hapuskan dari daftar keluarga. Nasab dan cabang keluargamu akan diputuskan. Kamu akan diasingkan dan tidak diterima lagi di kampung halaman ini! Paham?!!”

Albar mengepalkan tangannya, mengeraskannya. Bulir-bulir keringat jatuh dari pelipisnya. Tubuhnya tegang. Tulang-tulang rahangnya menonjol. Albar melenggang pergi meninggalkan Ibunya, Pak Dhe dan… dan ayahnya yang diam seribu bahasa mengamati ketegangan itu.

Albar mengemasi barang-barangnya. Apapun dijejalkan dengan marah kedalam keril peralatan mendaki gunungnya. Albar terhenyak dan frustasi.

***

Sebulan yang lalu, bulan Mei, di suatu stasiun. Kristin memeluk Albar begitu erat. Ia tak peduli dengan orang yang sedang berlalu lalang di sekitarnya. Pegangan tangannya begitu kuat dan tak ingin terlepaskan. Kristin tak rela melepas kepergian Albar sore itu.

“Aku pulang dulu…” ungkap Albar lirih namun oleh Kristin hanya disambut dengan genangan air mata yang meleleh di pipinya. Ia menggeleng-geleng.

“Kristin…” Albar mengelus pipi Kristin dengan tangan kanannya. Sementara tagan kirinya tak dibiarkan sekejap pun oleh Kristin lepas dari genggamannya yang erat. “Kristin, apakah sesuatu telah terjadi?” Albar menghapus air mata yang terus bercucuran di pipi Kristin. “Aku hanya pulang sebentar seperti yang selalu terjadi. Pulang dan kembali lagi ke sini. Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?”

Kristin menggeleng.

Albar meraih pinggang Kristin, menariknya kedalam pelukan dan mendekapnya dengan penuh kasih sayang.

Kristin menangis, wajahnya ia benamkan di dada Albar.

Peluit meraung-raung.

Sekali lagi Albar memberikan pelukan terhangatnya. Lalu ia mencium kening Kristin. Dengan rasa berat perlahan-lahan Kristin melepaskan pengangan tangannya.

Sepasang kekasih itu saling melambaikan tangan. Dan mereka berpisah.

Itu adalah kenangan terakhir Albar kepada Kristin. Lambaian tangan itu. Dan tangis yang masih bercucuran di pipi indahnya.

~~Dermaga saksi bisu, waktu ku kecup keningmu// perlahan kau lepaskan pegangan tanganku// aku lihat kau menangis//~~

~~Lambaian tanganmu masih ku ingat selalu// itu yang terakhir ku melihat dirimu//~~ (Bukan aku Tak Cinta: Iklim)

Terasa sesak dan begitu sebah di dada mengenang kisah cinta dan jalinan asmara yang sudah dijalani bersama-sama selama 5 tahun itu. Kisah cinta yang saling memahami, saling menjaga dan tak pernah mempertanyakan ataupun mempersoalkan tentang keyakinan beragamanya satu sama lain. Mereka begitu toleran. Bahkan terlalu sering dan teramat sering Kristin mengantar dan menanti ketika Albar hendak menjalankan ibadah sholat Jum’at. Begitu pula Albar berulang kali mengantar atau menjemput Kristin di Gereja pada Kebaktian di hari Minggu.

***

Tak pernah terbayangkan oleh Kristin, ia akan menerima surat undangan dari Albar. Tak pernah sekejap saja—sekalipun hanya dalam angan-angan—Kristin pernah membayangkan akan menerima undangan pernikahan dari lelaki bernama Albar, kekasihnya. Dan sangat sulit bagi Kristin untuk mempercayainya; sangat tidak mudah baginya untuk menerima kenyataan bahwa undangan itu benar-benar dari Albar dan dikirimkan khusus kepadanya setelah apa yang mereka jalani bertahun-tahun di tanah perantauan.

Cinta dan realita memang terkadang sangat aneh. Cinta tak pernah bisa dilogika, dan realita sekalipun sangat nyata seringkali tak mudah untuk diterima. Bagaimana tidak aneh, Albar sangat mencintai Kristin begitu juga sebaliknya, Kristin sangat mencintai Albar bahkan Kristin sangat yakin, dunia tidak akan pernah ada tanpa Albar. Namun bila dihadapkan dengan realita, cinta, hanya sekedar cinta saja, ia tak cukup untuk menyatukan dua hati manusia dalam ikatan suci pernikahan. Maka sungguh sangat naif, mereka yang memandang cinta adalah segala-galanya. Sungguh naif apalagi jika dihadapkan dengan keabadian, cinta dua orang manusia adalah fana belaka.

~~Lalu kucoba bertanya untuk apa cinta kita// sekian lama kita bina hanya berbuah derita// Oh Sheila tabahkanlan suratan di dirimu// Oh Sheila relakanlah kita harus berpisah//~~ (Sheila: Iklim)

Malam telah larut. Melalui jendela Kristin melihat jalanan telah sepi. Pohon mangga di halaman bergoyang-goyang tertiup angin, beberapa daun jatuh. Garis-garis gerimis yang lembut terlihat begitu jelas di bawah bohlam lampu jalanan. Garis-garisnya yang serupa jarum menambah pedih yang menusuk-nusuk dada Kristin.

Kristin memandangi bayangan dirinya yang jatuh dalam cermin meja riasanya. Rambutnya berantakan awut-awutan. Bekas air mata yang telah mengering begitu jelas di bawah matanya yang sembab. Di genggaman tangannya ia memegang surat undangan pernikahan Albar yang dititipkan kepada sahabatnya.

“Dak dak dak…”

Kristin sadar dari lamunanya.

“Dak dak dak…” Seseorang mengetuk kaca di jendela kamarnya.

“Dak dak dak…” terdengar lagi ketukan itu, lebih keras.

Kristin membuka jendela kamarnya yang berada di lantai dua.

“Al… Al… Albar?” seru Kristin kaget bukan kepalang.

Albar tak peduli. Ia membuka lebar jendela itu dan masuk ke dalam kamar Kristin dan langsung memeluknya. Erat sekali pelukannya. Kristin terbujur kaku. Kaget dan tak percaya. Ia begitu shock hingga tak sanggup membalas pelukannya.

Bermenit-menit lamanya sepasang kekasih itu berpelukan. Memadu rindu yang tak karuan. Keduanya memejamkan matanya. Melepaskan beban dan resah yang seakan-akan tak bisa mereka tanggungkan.

“Albar…” bisik Kristin.

Albar membalas dengan memeluknya lebih erat.

“Kenapa kau ada di sini? Bukankah esok kamu akan melaksanakan akad yang suci itu?”

“Diam, Kristin!” geram Albar.

Kristin akhirnya membalas pelukan Albar setelah sekian lama, sejak terakhir kali di stasiun.

“Jelaskan padaku, Al.” Kata Kristin tenang.

“Aku mencintaimu, Kristin.” Jawab Albar.

Kristin menggeleng dalam pelukan Albar.

“Apa artinya ini?” Kristin mengisyartkan akan undangan itu, “Aku tidak ingin menjalani kehidupan yang seperti ini, Al”

Mereka kemudian saling melepas pelukannya. Mata sepasang kekasih itu saling bersitatap.

“Semoga engkau bahagia, Al.” Mata Kristin yang telah mengering itu meneteskan air mata cintanya sekali lagi dan membasahi Undangan Pernikahan itu.

~~Surat undanganmu pernikahan itu kugenggam erat di tanganku// hanya do’a restu yang kupersembahkan semoga engkau bahagia//~~ (Surat Undangan: Poppy Mercury)


Naifnya Cinta © Andy Riyan | 2019

Katakan sesuatu/ Say something

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.