Tentang Sebuah Komunitas

komunitas

Menjalankan kegiatan menulis tanpa dibarengi dengan kegiatan membaca akan membawa diri kita pada kesulitan-kesulitan menulis. Itu selalu berlaku di mana saja, dan yang paling sering saya temui justru ini adalah sebuah masalah yang saya temukan di sebuah komunitas menulis. Terutama komunitas-komunitas menulis yang kegiatannya cuma tantangan atau terkenal dengan istilah challenge. Dan yang paling aneh justru saya tercebur ke dalam sebuah komunitas seperti itu ketika saya mengharapkan sebuah komunitas menulis yang peduli untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam menulis. Ironis sekali. Sebab keterceburan saya ini berawal dari sebuah harapan bahwa saya bisa meningkatkan level kepenulisan dengan bergabung di sebuah komunitas menulis, sebagaimana yang sering orang-orang sarankan. Yang terjadi… stagnan. Bahkan merupakan langkah mundur!!!

Ya. Halo Amigos! Di mana pun engkau berada semoga engkau selalu dalam limpahan kasih sayang, taufiq dan hidyah Tuhan Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Amin. Dan semoga taufiq dan hidayah-Nya, yang tak henti-hentinya bercurahan, menjadikan kita mampu berpikir dengan lebih jernih. Sebab yang membedakan kita dengan hal lain di sekitar kita adalah pikiran kita. Dan yang membedakan kita dengan orang biasa adalah pikiran kita yang tertuliskan.

Di paragraf pertama saya telah menyebut kata komunitas, menulis dan langkah mundur. Ada apa?

Sebelum berbicara panjang lebar, ada baiknya saya menuliskan hal ini terlebih dahulu. Yakni tentang tulisan kali ini yang saya maksudkan sebagai tulisan untuk mengisi tiga pos sekaligus. Yang pertama untuk mengisi kolom esai di jejakandi minggu ketiga bulan November (tanggal terbit, 21 November 2019), yang kedua untuk mengisi tulisan di #ketik3 dan yang ketiga adalah sebagai tanggung jawab moral saya sebagai anggota dari komunitas menulis Ikatan Kata.ikatan-kata-logo-sharpTeruntuk Amigos yang ingin bergabung dengan kami di komunitas ini bisa langsung menuju blog komunitas Ikatan Kata (klik logo di atas) kemudian pilih join us atau langsung bisa bergabung dengan mengeklik tautan di sini. Kalau ingin jalan-jalan dulu dan melihat-lihat aktivitas kami, Amigos bisa pilih menu Activity. Ingin tahu berapa member yang sudah join? Silakan bisa kunjungi list member dan hitung sendiri ya. Heuheuheu.

Seharusnya, tulisan ini—#Ketik3, tentang mengajak orang lain untuk bergabung—sudah turun begitu saya bergabung dengan komunitas tersebut. Tetapi saya menundanya karena suatu alasan. Alasannya begitu sederhana dan menurut saya logis, yaitu dalam mengulas suatu produk, biarkan seseorang mencoba dan merasakan sendiri pengalaman terhadap produk tersebut baru bisa bercerita, mengajak dan bahkan mempromosikannya. Kan tidak lucu bila seseorang promosi sebuah barang, sempak misalnya, dan ia mengatakan bahannya sangat berkualitas rasanya adem, nyaman sangat recomended banget buat kalian, padahal dia belum pernah memakainya. Untuk mas-mas yang ngejar alasan mengapa saya menundanya, ini jawabannya.

Di mana-mana, orang kalau promosi—biasanya—menyebutkan hal-hal yang positif; keunggulan dan kelebihan-kelebihannya. Mungkin hanya orang gila yang mempromosikan sebuah produk dengan menyebutkan kritik destruktif dan kekurangan-kekurangannya. Boleh jadi saya sudah tidak waras, tetapi dalam hal ini saya mempercayai Hukum Newton ke-3, aksi-reaksi.

Semua orang berani dan bisa menuliskan hal positif tetapi tidak semua orang—meskipun bisa—berani menuliskan hal yang negatif tentang diri kita, dan itu masalahnya. Kegiatan menulis bebas dan mengikat makna telah membawa diri saya untuk berani menabrak batas-batas yang membelenggu saya, yaitu untuk bebas menuliskan dengan jujur tentang apa saja. Dengan begini, pembaca tidak hanya tertarik karena kegemilangan, kemeriahan dan gebyar-gebyarnya. Percayalah sebagaimana theme song sinetron laga zaman dulu, Wiro Sableng, yang dinyanyikan Bondan bahwa, “S’gala yang ada di dalam dunia ini terdiri atas dua bagian yang berlainan namun merupakan pasangan, semuanya tak dapat terpisahkan. Meskipun saya menyebutkan deretan kekurangannya, ada manfaatnya yang tak kalah banyak berderet-deret. Temukan saja sendiri manfaat itu.

***

desk-1148994_640

Pengalaman saya ketika bergabung dengan komunitas ini adalah, seperti yang saya sebutkan di awal, cenderung stagnan dan merupakan langkah mundur. Tetapi karena ini adalah komunitas yang terbilang baru saya tergerak untuk memberikan kritik dan masukan. Ingat sebuah kritik dan masukan itu bukan untuk dicarikan pembenaran dan alibi ataupun dibela, cukup diterima atau ditolak. Bentuk kepedulian saya mungkin agak destruktif tetapi sebagaimana kata pepatah yang begitu familiar di telinga saya, mungkin juga familiar di telinga pembaca: “Better to lit the candles than curse the dark.” lebih baik menyalakan lilin-lilin daripada mengutuki kegelapan.

Saya ‘agak’ kecewa setelah memasuki komunitas menulis ini. Komunitas menulis yang lebih banyak berisi tentang tantangan menulis. Kenapa saya tidak begitu antusias dengan tantangan menulis yang tidak berbeda dengan writing prompt? Karena bagi saya yang paling penting dari sebuah kegiatan menulis adalah membaca. Bukan seberapa seberapa sering kamu menulis. Tanpa harus diberikan tantangan, apabila tahu manfaat dari kegiatan menulis seseorang akan menulis setiap harinya. Saya menulis setiap hari tidak kurang dari 1500 kata per harinya. Apakah ada rahasia? Rahasianya adalah membaca.

Yang paling penting dalam kegiatan menulis adalah bukan bagaimana bisa menulis tetapi bagaimana bisa berpikir dengan benar. Bagaimana bisa berpikir, berpikir dan berpikir dengan benar. Dan apa yang akan dipikirkan jika isi pikirannya kosong? Kalau kamu tidak bisa berpikir, kamu akan sangat tersiksa untuk menuangkan gagasan. Gelas yang berisi susu luberannya pun akan berupa susu, tidak mungkin berupa kokakola. Apa yang berceceran dan menjadi sebuah tulisan adalah buah pikiran yang meluber. Bagaimana cara mengisi kepala yang kosong, isilah gelas susu itu terus-menerus.

Perlu disadari bagi semua orang yang menyebut dirinya calon penulis. Bahwa penting sekali untuk mengedepankan kegiatan membaca daripada menulis, sebagaimana kata Borges yang saya temukan dalam kutipan Eka Kurniawan dalam kumpulan esai-nya yang berjudul Senyap Yang Lebih Nyaring: “Membaca merupakan kegiatan yang lebih intelek daripada menulis.”

Yang saya kecewakan dari komunitas menulis ini, sejauh ini masih sebatas sekitar tantangan-tantangan menulis dan masih sangat minim kegiatan pembacaan bersama yang mana bagi saya itu tidak menarik sama sekali. Karena kalau cuma tantangan menulis dan soal deadline saya bisa mencari di tempat lain dan bahkan lebih bagus, lalu apa bedanya komunitas ini dengan writing prompt? Yang saya suka, yang ideal bagi saya, sebuah komunitas menulis adalah bagaimana seharusnya komunitas bisa mendorong untuk membaca dan menuliskan apa yang dipikirkan dari pembacaan kita terhadap suatu pokok persoalan. Memang komunitas ini telah berhasil mendorong anggota-anggotanya untuk menulis, tetapi entahlah mengapa saya tidak begitu tergerak, tidak seantusias mereka. Mungkin yang salah adalah diri saya bukan komunitasnya.

Mungkin yang perlu dilakukan oleh sebuah komunitas adalah mendorong anggotanya untuk menulis saja dulu di jurnal masing-masing apa saja yang bisa kita rangkum dari sebuah kuliah materi yang ada. Menuliskan apa yang kita dapat dari satu artikel yang kita baca bersama-sama, lalu coba kita tuliskan hasil pemikirannya. Misalkan ternyata tak ada yang didapatkan, berarti kita—minimal diri-sendiri—tahu jika materi itu tidak cukup merasngsang otak kita; kita pun akan tahu materi seperti apa yang bisa memperkaya pikiran kita; kita juga akan tahu tulisan dan materi seperti apa yang membosankan dan tidak menarik bagi kita. Penting sekali untuk memperoleh makna dan hal-hal yang penting bagi pikiran kita. Jangan sampai kegiatan menulis menjadi kegiatan yang menekan dan membosankan dan membuat diri jadi tidak bahagia. Karena apa yang lebih membekas, bagi saya, adalah manfaat jangka panjang.

Saran saya, mungkin ke depan sebuah komunitas menulis dapat memberikan satu materi khusus dan yang tak biasa. Kemudian anggota-anggotanya akan melakukan kegiatan membaca bersama-sama di tempat masing masing, lalu apa yang mereka pikirkan atau bagaimana pengalaman mereka ketika membaca materi tersebut dapat dituangkan dalam bentuk mengikat makna, dalam bentuk tulisan yang sudah bercampur dengan gagasan-gagasan yang berada dalam pikiran masing-masing. Menurut saya itu jauh lebih efektif untuk mendorong seseorang meningkatkan level kepenulisan.

“Membaca merupakan kegiatan yang lebih intelek daripada menulis.”—Borges

Usul lain, berilah kesempatan kepada member-nya untuk membaca, misalnya untuk membaca sebuah buku yang mereka pilih sendiri atau artikel yang diinginkan. Sebab bisa jadi dan sangat mungkin terjadi tidak semua orang mempunyai buku bacaan atau mendapatkan buku yang sama untuk dibaca, karena buku yang dibaca itu berbeda. Solusi untuk hal ini adalah dengan membaca suatu artikel online yang dapat diakses oleh pembaca dari mana saja. Atau kalau tidak begitu, pada periode tertentu masing-masing member bisa memilih satu buku apa yang ingin dibaca dan kemudian mereka dapat menuliskannya dengan mengikat makna. Hal-hal seperti itu yang ideal bagi sebuah komunitas menulis, menurut saya. Nanti setelah itu, setelah beberapa saat tertentu, boleh diadakan sebuah pembacaan bareng-bareng terhadap hasil tulisan yang telah dituangkan untuk memahami apa yang didapatkan dari pemahaman tersebut. Boleh jadi sebuah opini dalam bentuk sanggahan apa yang kamu setuju dan tidak setuju. Boleh jadi akan muncul hal-hal yang mampu membuat kita tersentak dan perlu kita masukkan untuk diolah lagi dan dimasukkan ke dalam artikel-artikel atau esai.

Dan soal durasinya, saya begitu kecewa. Ketika saya menulis email, menanyakan perkara durasi dan jangka waktunya kapan dan berapa lama, jawabannya adalah dinamis. Dinamis adalah sebuah jawaban yang bagi saya adalah sebuah jawaban yang tidak enak. Berkaitan dengan konsistensi, jadwal seharusnya tidak boleh dinamis. Dan memang setelah saya mengalaminya jadwalnya lumayan cepat, mingguan. Seminggu sekali ya cukup. Tidak terlalu lama dan tidak juga terlalu cepat. Tetapi jawaban semula sebagai dinamis itu tidak bisa membuatku memutuskan apakah aku bisa join atau tidak.

Tapi jadwal yang dinamis, saya yakin, bagi penulis-penulis lain di luar sana begitu menantang dan membuat semangat atau bergairah. Terlebih bagi mereka yang sering terkena syndrom writing block dan kekurangan motivasi untuk menulis. Jadwal yang dinamis bisa memacu adrenalin untuk segera menyelesaikannya. Tetapi bagi saya yang sudah punya jadwal yang ‘agak’ teratur, hal tersebut bisa membuat mood berantakan.

Bagaimanapun, jadwal se-dinamis apa pun, ya tentu ada plus dan minusnya juga. Tetapi sekali lagi, yang paling penting dari sebuah kegiatan menulis adalah membaca.

Kegiatan menulis yang bisa membebaskan dan menyenangkan adalah kegiatan menulis yang bisa membuat seseorang mau menuliskan apa saja setiap harinya. Sekali lagi yang paling penting dari sebuah kegiatan menulis adalah membaca. Menurut saya, keberlangsungan kegiatan menulis yang dibarengi dengan membaca akan lebih awet dalam merawat kualitas tulisan. Karena semakin banyak membaca, maka akan semakin kaya akan kosa kata. Kegiatan menulis akan membuatnya seolah kata-kata saling berinteraksi dan menjadi memiliki lebih banyak warna. Namun jika sebuah komunitas hanya mendorong sebatas teknik-teknik… Hemmm!!! Teknik tanpa isi itu omong kosong. Jadi teknik menulis itu penting tapi tidak lebih penting dari pikiran itu sendiri. Pikiran, bagaimanapun semrawutnya, dengan teknik apapun, kalau pikirannya berisi, pasti akan banyak kata yang keluar. Dan kegiatan menulis yang membebaskan akan membantu seseorang untuk menyusun kalimat dengan benar. Itu adalah pengalaman pribadi saya.

“A wind that blows aimlessly is no good to anyone.” Rick Riordan

Dari awal semula, saya tidak begitu mengerti tujuan dan visi komunitas ini. Makanya hal pertama yang terlintas di benak saya, saya bertanya-tanya tujuan dan visinya apa, kemanakah kira-kira arahnya. Katanya mengalir saja. Baiklah! Tetapi jika terus begini… Mungkin karena komunitas ini masih tergolong baru. Ya gak papa. Asik aja sih.

–“Angin yang bertiup dengan tanpa tujuan itu tidak baik bagi siapa pun.”

Sebelumnya saya memang belum pernah bergabung dengan komunitas menulis. Tetapi hal semacam itu sudah sering saya ikuti dulu ketika saya masih aktif di tumblr. Bedanya kalau dulu saya bebas mau menuliskan di mana saja, pegiat kegiatan menulis pun hanya memberikan arahan dan tema. Jadi tak ada member-member-an, semua orang bebas join dari mana saja, memilih topik yang mana pun yang ia sukai. Jadi saya tidak tahu apakah komunitas ini akan bertahan lama, tapi ini adalah pengalaman pertama saya, jadi saya akan bisa melihat sampai sejauh manakah komunitas ini akan melangkah. Jejakandi telah merekamnya hari ini. Suatu hari nanti ketika menoleh ke belakang, membaca kepada jejak yang telah ditinggalkan, kita tahu bahwa ada sesuatu yang telah berubah. Kita akan tahu bagaimana jejak itu akhirnya mengukir kenangannya.

Berkaitan dengan durasi dan keterbacaan sebuah tulisan, jumlah postingan yang tak terbatas juga memungkinkan kita untuk melewatkan kesempatan membaca. Durasi posting yang terlalu sering akan membuat sebuah tulisan tenggelam, dan tak terbaca lagi. Kalau tidak percaya silakan bandingkan sendiri jumlah keterlihatan sebuah tulisan antara yang terlalu sering dengan yang sedang saja tetapi konsisten dan cukup waktu untuk membacanya. Jika tak ada kesempatan untuk membacanya… ya… silakan simpulkan sendiri.

Jika memang punya banyak stock tulisan, lebih baik disimpan dulu. Tulisan tersebut dapat diolah lagi dan diterbitkan lain kali secara teratur. Jadi kamu tidak pernah kuatir akan ada hari yang bolong. Banyak penulis dan content creator di luar sana yang bahkan sudah punya banyak tabungan konten hingga dua bulan kemudian. Mereka kemudian akan menerbitkannya dengan dijadwal. Jadi seorang content creator dapat terus fokus pada kegiatan membaca dan berpikir. Karena sekali lagi, yang paling penting dari sebuah kegiatan menulis yaitu membaca. Ia bisa fokus membaca dan berfikir, sehigga apa yang dihasilkannya selalu bagus. Saya, sekarang sedang belajar untuk itu, lebih suka banyak menabung daripada banyak posting, karena tugas saya sebagai pembaca adalah lebih banyak membaca.

Jadi kalau setiap hari posting seperti itu, saya tidak bisa membayangkan bagaimana membacanya. Membaca buku saja, saya sudah habis waktunya. Dan untuk membuka hape lalu membaca artikel yang kalang kabut ini? Bayangkan saja deh. Padahal yang paling penting dari kegiatan menulis adalah membaca. Jadi salah satu apa yang saya kecewakan dari diri saya sendiri ketika mem-follow banyak orang… ya seperti itu, tidak banyak yang bisa saya baca dari tulisan mereka. Dan sebagaimana kita tahu, waktu yang kita miliki sehari… cuma 24 jam, Rek! Tak banyak. Membaca buku saja waktunya kurang, ditambah dengan membaca artikel yang bertebaran di internet? Semakin susah! Karena kadang-kadang membaca panduannya kdang saya tidak paham, sebab saking banyak informasi yang masuk. Jadi malah bingung saja.

Dari atas sampai bawah kayak negatif terus, gak ada optimisnya.

Ternyata mazhab Diogenes banyak menjangkiti orang ya?

Apakah memang seperti itu? Tidak.

Ada sih sisi positifnya.

Banyak!

Salah satunya adalah grup WA yang ramai dan responsif.

Grup WA-nya sangat antusias. Bahkan yang saya suka dari grup WA-nya tidak melulu membicarakan tentang kegiatan menulis. Saya jadi percaya dua orang penyair kalau bertemu, mereka pasti tidak membicarakan tentang syair atau puisi. Saya percaya dua orang novelis kalau bertemu, pasti tidak membicarakan hal-hal tentang bukunya masing-masing, bisa jadi malah tidak ada kaitannya sama sekali dengan buku. Grup WA adalah media yang paling menarik menurut saya. Grup itu sudah mewadahi orang-orang dengan frekuensi yang sama, yaitu suka menulis. Jadi ketika membicarakan hal-hal yang tidak berkaitan dengan tulisan pun, sejatinya adalah sedang belajar menulis. Karena orang-orang dengan frekuensi sama, yang sama-sama suka menulis, tanpa membicarakan tentang kegiatan menulis pun, mereka tahu, bahwa apa yang mereka bicarakan akan menjadi sumber inspirasi… akan menjadi harta yang berharga, menjadi emas yang terkandung dalam perut bumi yang siap diolah.

Sebagai penutup saya kutipkan quote dari Nathan W. Morris:

“It’s not always that we need to do more but rather that we need to focus on less.”

—Tidak selalu yang kita butuhkan adalah melakukan lebih banyak, tetapi yang kita butuhkan adalah sedikit fokus—

Tentang Sebuah Komunitas © Andy Riyan | November 2019


Sumber photo: jjie.org

Sumber photo 2: Pixabay, sumber photo gratis

 

30 Comments

  1. nunulis says:

    saran yang bagus mas

    Like

  2. ysalma says:

    Saran yang sangat positif untuk evaluasi sebuah komunitas.
    Tulisan memang menunjukkan apa yang dibaca penulisnya ya.
    Sy termasuk yg ngaku suka menulis, tapi selalu merasa kewalahan untuk menulis di blog. Begitu tulisannya dibaca lagi dilain kesempatan, bingung sendiri memahaminya. *efek minim baca*. Hiks.

    Like

    1. jejakandi says:

      Terima kasih apresiasinya, Mbak Salma. Apa yang disampaikan Mbak Salma sedikit membuat saya lega. Karena saya semula berpikir, kritik saya tidak beretika dan cenderung negatif. Saya terkadang melupakan apa yang harus, yang boleh dan yang tidak boleh di tulis di halaman publik. Dan terkait tulisan ini, saya mengikuti kata hati, tulis dan di turunkan di blog. Saya tidak memikirkan hal lain.

      Kurang lebih begitu. Tetapi saya tidak tahu pasti apakah tulisan benar-benar menunjukkan apa yang dibaca penulisnya.

      Ayo Mbak Salma, kita belajar bersama-sama. Kalau Mbak Salma bergabung bersama kami, Mbak Salma akan memberi warna yang berbeda. Yu Gabung. He he he

      Like

  3. rifihana says:

    Halo, Mas Ndobos. 👋 Salut dengan pemikiran Mas yang sangat kritis. Aku mau nanggepin, tapi mungkin agak panjang. Udah kebiasaan emang, hahaha. Mohon maklum.

    Aku setuju soal membaca. Menurutku, itu memang bagian tak terpisahkan dari menulis. Kalau aku pribadi sih habit membaca ini masih jadi PR, hahaha.

    Terkait menulis blog, aku paham relasi antara frekuensi posting dan keterbacaan tulisan tersebut. Semakin sering posting, semakin tinggi juga tulisan sebelumnya tidak terbaca (kecuali kita menulis hal yang dibutuhkan orang ya hehe). Aku pernah ngelakuin ini, dan ya memang begitulah yang terjadi.

    Beruntungnya, prioritasku saat itu memang bukan keterbacaan, lebih ke membangun habit menulis. Jadi ya nggak masalah2 amat karena tujuanku (sempat) tercapai. 😀 Walau keterbacaannya rendah, aku juga nggak bisa mengesampingkan fakta kalau justru sejak saat itulah blogku mulai ramai. Somehow.

    Mungkin ini kisahnya blogku aja sih. Tiap blog punya ceritanya masing2. 🙂 Omong2, sekali lagi, terima kasih untuk tulisan yang memberi pembelajaran ini. 👍

    Liked by 1 person

    1. jejakandi says:

      Hai, Mbak Rifihana. Terima kasih sudah berkenan menanggapi pemikiran saya yang tidak kritis-kritis amat, sedikit rebel mungkin. Bagus kalau sudah terbiasa menulis panjang, itu berarti pikirannya sensitive dan terbiasa menangkap gagasan. Sangat awas dengan kilasan-kilasan di sekitar. Saluuuuuuutttt!!! Keren banget.

      Kalau ada PR berarti ada kemungkinan untuk ulangan dan ujian. 😀 😀 ngerti maksudnya, kan?

      “Semakin sering posting, semakin tinggi juga tulisan sebelumnya tidak terbaca (kecuali kita menulis hal yang dibutuhkan orang ya hehe).” Tapi itu tidak pernah menjadi masalah untuk Mbak Rifina, begitu juga saya, tak masalah karena menulis ya menulis saja tak peduli apakah terbaca atau tidak. Saya juga sadar itu. He he he

      May be I have an answer about the ‘somehow’ thing you’ve addressed, teori yang simple, semakin banyak apa yang kamu tulis, semakin banyak pilihannya dan semakin luas temanya. Dan semakin banyak kemungkinan yang tersangkut karena kata kunci yang ada.

      Terima kasih kembali, Mbak Rifihana. Saya cuma menulis apa yang ada dalam pikiran saya saat itu, kalau itu bermanfaat alhamdulillah, kalau itu tidak bermanfaat, saya memohon ampunan Tuhan, semoga Dia memaafkan saya.

      Like

  4. Fahmi Ishfah says:

    Sran dan kritik yang membangun. Terima kasih, Andy

    Like

    1. jejakandi says:

      Terima kasih kembali, Mas Fahmi. Pembimbing, admin dan pengasuh kami di Ikatan Kata. Maaf kalau sedikit gesrek, rewel banyak protes dan bahkan nakal karena menabrak etika. Di mana lagi saya bisa menabrak etika kalau bukan cuma di postingan ini. Insyaallah cuma di sini dan di postingan ini saja. Terima kasih sudah menerima kami dan tak lelah juga tak jenuh untuk membesarkan Ikatan Kata. Bravo!!!

      Like

      1. Fahmi Ishfah says:

        Aku sudah mengirimkan email. Sudah diterima kah emailnya?

        Like

      2. jejakandi says:

        Sudah, Mas Fahmi. Nanti saya baca lagi dengan lebih fokus. Terima kasih.

        Like

  5. fiskahendiya says:

    Ini membaca dalam arti luas kan ya mas ndobos? 😁

    Membaca situasi, membaca sudut pandang orang lain, membaca masalah, membaca pengalaman, membaca buku, membaca segala hal yang tersirat..

    Menulis dan membaca itu sama penting. Kalau menulis itu senjata, maka membaca adalah pelurunya.
    Tanpa membaca tulisan gak akan nembus sampai ke hati pembaca. Kosong.

    Btw sarannya oke.

    Terima kasih sudah meninggalkan jejak untuk komunitas ini. Semoga tetap betah dan nyaman. 😄

    Like

    1. jejakandi says:

      Exactly true!!! Mbak Fiska. Termasuk membaca hatimu 😛 😛 😛

      Membaca situasi, keadaan dan masalah di sekitar kita adalah bentuk membaca di level ultimate, level tingkat tinggi. Sasaran selanjutnya setelah membaca dalam diri dan dalam buku adalah membaca di luar diri dan di luar buku.

      Sangat setuju. Membaca tanpa dibarengi atau ditindaklanjuti dengan menulis akan sangat kepayahan dan kewalahan untuk dapat menyimpan kilasan-kilasan makna, ide, informasi dan ilmu yang masuk ke dalam pikiran.

      Tak hanya kosong. Hampa.

      Terima kasih kembali, Mbak Fiska. Insyaallah betah dan nyaman. Kan ada Mbak Fiska, Mas Fahmi, Mas Hape, Mbak Ayu, Pak Narno dll.

      Liked by 1 person

  6. eL says:

    Mas mas, bileh kasi tau itu sempak beli di mana? Hahaha…🤣

    Lah, malah gagal pokus aye~

    Liked by 1 person

    1. jejakandi says:

      Ha ha ha beli di toko besi, Mas.

      Alhamdulillah cuma gagal fokus. Bahaya itu kalau gagal ginjal. 😀 😀 😀

      Like

  7. sunarno says:

    ritme menulis dan ritme membaca bagiku sama pentingnya. tiap hari saya membaca tiap hari saya menulis. jika tidak melakukan keduanya bagaimana saya bisa menyampaikan kepada orang lain baik di dunia maya mapun di dunia nyata. Jika kedua hal tersebut tidak kulakukan di dunia nyata, tamatlah pekerjaanku

    Like

    1. jejakandi says:

      Sepakat, Pak Narno. Imam syafii berkata, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Ilmu yang didapat dari kegiatan membaca, apabila tidak segera dituliskan bisa lepas dan kegiatan membaca seolah menjadi sia-sia, karena terlalu banyaknya informasi yang masuk ke dalam kepala. Sementara kita kesulitan untuk merumuskannya.

      Suka dengan guru seperti Pak Narno, mampu dan mau melakukan dua hal yang sangat penting; menulis dan membaca. Saya melihat banyak di luar sana, beberapa guru sangat jarang menulis dan membaca. Semoga yang dilakukan kita menjadi berkah dan nilai lain dari hidup yang bermakna.

      Liked by 1 person

  8. Wow, saran yang bagus kak. Emang kalau menulis tanpa membaca itu sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Kalau aku pribadi memang cara belajarnya ya lewat tulisan yang aku suka. Aku punya satu novel yang bagus banget buat belajar kaidah bahasa Indonesia. Dan aku belajarnya dari situ, daripada KBBI. Lagipula itu sudah KBBI menurutku.😅

    Like

    1. jejakandi says:

      Novel apakah itu, Dev. Iya bagi orang yang kreatif, belajar pun bisa dengan cara yang kreatif dan menyenangkan bagi dirinya sendiri. Membuat mudah hal yang semula susah. Termasuk belajar menulis.

      Like

      1. Kita, kata, dan cinta karya Khrisna Pabichara, kak.

        Like

      2. jejakandi says:

        Rupanya jauh lebih banyak buku yangbtidak saya kenal daripada yang kenal. Langsung mlipir *kebut baca buku

        Like

      3. Semangat kak! Lagi pula aku juga pemula😊

        Like

      4. jejakandi says:

        Semangat itu pasti. Hanya itu yang tersisa ketika dunia menjadi keruh dan gelap.

        Liked by 1 person

  9. BAGIAN WIRO SABLENG ITU KENAPA MASIH MELEKAT DI KEPALAKU???? *gagal fokus ._.

    Kak Andy masih penasaran alasan “sumpah”-ku nggak? xD

    Like

    1. jejakandi says:

      Kamu Tua. Ha ha ha

      Ada masalah apa dengan Mbak Ade, sampai bikin sumpah yang pasti terlanggar? 😁😁

      Like

      1. Hush… ntar yang lebih tua ngamuk loh xD

        “Sumpah yang pasti terlanggar”. Kenapa aku jadi makin sedih wkwkkw xD

        Like

    2. jejakandi says:

      Dilanjutin di kolom komentarmu aja lah…

      Like

      1. padahal jawabannya ada di postinganmu Kak Andy xD

        Like

      2. jejakandi says:

        Hush aku jadi gak enak sama member lain. Aku tahu beberapa setuju dengan pendapatku. Eh gak tahunya Mbak Ade juga. Wkwkwkwk

        Like

Comments are closed.