Di bawah derai hujan, di tengah sulitnya udara untuk bernafas karena beban oleh liku-liku kehidupan, Rahman bersimpuh di atas kaki-kakinya yang lelah. Matanya yang dulu berbinar seelok fajar tampak sayu memandangi langit yang kian kelabu. Hatinya yang dulu tabah kini goyah seperti hilang arah. Karena cinta hasratnya dulu begitu bergelora dan jiwanya pun penuh cahaya. Dan kerena cinta pula hatinya kini terpenjara dalam sepi, cahayanya memudar, dingin dan terlupakan.
“Jangan melenakan aku dengan semua canda tawamu.” Erangnya kepada langit kelabu.
Bagai mendengar suaranya, awan hitam kemudian tampak bergumpal-gumpal seperti warna hatinya yang penuh kecewa. Ia terus menatapi langit yang berlapis-lapis mendung gelap itu, yang terus tumpah darinya hujan yang entah kapan akan reda. Begitu hitam tampak di matanya, sehingga Rahman berpikir sampai bulan depan pun, mendung itu tak kan sirna.
Dalam mata redupnya yang tak lagi seelok bintang, muncul bayang-bayang Keumala, gadis pengembara dari tanah Malaka.
“Keumala…” Ia berbicara lirih kepada derasnya hujan, seoalah hujan yang bertubi-tubi jatuh dari langit adalah wakil tambatan jiwanya. “Seharusnya semuanya telah usai ketika aku mengatakannya padamu tentang hal apa yang kurasakan, meski semua terdengar sangat sederhana, bahkan sama sekali tak berpola.”
Halilintar menggelenggar di susul guruh yang terdengar bertalu-talu, seoalah ia adalah sasmita, jawaban dari Si Tambatan Jiwa.
“Namun dalam gemerlapan jiwa dan silaunya cahaya di luar sana, aku hanya memilihmu untuk terangi gelapku, Keumala!”
Halilintar sekali lagi menggelenggar. Semakin nyata ia adalah sasmita.
“Sadar kiranya, jika mereka buta…” Kenang Rahman pada tahun-tahun gelap yang telah lewat, “Tak akan mungkin mereka memandangku hebat saat pertama bertemu. Mereka akan mengerti ada banyak pengertian yang tersembunyi dalam kegelapan di tengah terangnya jiwa dan silaunya dunia. Tetapi mereka tak pernah mengerti.”
Burung-burung walet berterbangan memecah badai, ia gembira menari-nari di bawah hujan. Terbang melesat dari utara dari arah hutan cemara. Di kakinya menggenggam daun-daun hitam yang sehalus rambut. Dari ketinggian yang luar biasa, mereka menukik dengan tiba-tiba dan melesat masuk ke dalam gua. Mereka membuat sarang dari dedaunan cemara itu untuk menghangatkan tubuhnya demi menghadapi dingin yang akan melanda hingga tahun depan.
“Dari jutaan jiwa yang berada,” Rahman meneruskan senandungnya di tengah gemuruh badai “Aku sendirian mengarungi langkahku, mengurangi kesepianku dan hanya terbangun berteman kata-kata.”
Rahman memejamkan matanya, ia mengisi paru-parunya dengan udara yang dingin sepuasnya. Ia mengenang Keumala di tahun-tahun ketika langit senja adalah romantika bagi dua dara yang saling jatuh cinta. Mendadak matanya terbuka dengan kilatan berbahaya.
“Dan dalam jutaan kata-kata aku tenggelam. Tak ku temukan itu… satu kata pun yang mampu mewakili semuanya.” Teriaknya marah-marah mencoba mengalahkan ributnya deru badai.
Angin ribut menyisir pepohonan di selatan. Deru yang mengombak ganas bersama badai itu mematahkan ranting-ranting yang malang.
“Seperti saat melihat kedalam kenangan.” Ucap Rahman, meskipun lirih kata-katanya itu begitu jelas bergema di dalam kepalanya, “Yang semula pucat masai menjadi bersemu merah. Yang semula melihat keindahan dari tampak luar, menjadi teka-teki dalam sanubari yang kemudian meresap indah menginspirasi syair dalam semua puisi yang tertulis.”
“Mestinya aku terbiasa berada dalam sudut dunia, mengasingkan diri dari segala hingar bingar berjuta manusia. Dan semestinya aku juga terbiasa berteman dengan angin yang berhembus menghadapi keruh dan penuhnya hati ini. Mestinya aku terbebas dari penjari kemunafikan. Mestinya aku terlepas dari belenggu dusta. Mestinya aku terbiasa dan penuh kerelaan dengan segala yang datang dan pergi…” Ia mengenang bayangan Keumala, gadis pengembara dari tanah Malaka, “Yang hadir dengan senyuman dan pergi tak pernah kembali…” Wajah bulat lambang cinta itu semakin jelas dalam bayang-bayang kelam di matanya “Yang menamapakkan muka masam dan pergi menguntai kenangan… yang datang tiba-tiba dan pergi pula dengan tiba tiba. Dan segala sesuatu yang mampu mengukir kenangan.”
Semenjak Rahman tak terbiasa pulang tanpa jawaban dan pergi tanpa meninggalkan pertanyaan, segalanya pun kemudian tampak berbeda. Karena Ia mengingkari, segala yang terbentuk dari kata hati adalah jawaban yang pasti. Rahman seperti hendak memberi arah dan sedikit memberi harapan tentang masa depan tanpa pernah berharap sebuah penerimaan. Ia hanya sedikit memberi arah dan harapan pada kata hati bilamana ia pergi, ia yakin pasti kembali.
“Semenjak dua kali purnama sampai malam ini,” Desahan Rahman tenggelam dalam deru hujan “Aku masih sanggup untuk terus menjejakkan kakiku tanpa perlu kau temani sepiku.”
Rahman menyandarkan punggungnya pada dinding, matanya yang lelah perlahan jatuh dalam lelap, menyusul Keumala dan tak terbangunkan lagi.
Benar-benar sebuah karya sastra. Kata-katanya pilihan tapi tidak membosankan. Nice…
LikeLike
Really?
Hemmm terima kasih sudah mampir ya, Mbak Sondang Gassmom.
LikeLiked by 1 person
Really lho…
Aku kalo koment selalu apa adanya.
Tulisannya memang kerennn👍👍
LikeLike
Terima kasih apresiasinya, Mbak. 🙏🙏🙏
LikeLike