Sebuah Jurnal: Mencari Makna

Hidup ini singkat; jangan lupa bahagia, hidup ini indah; jangan lupa menikmatinya, hidup ini penuh makna; jangan lupa bersyukur, hidup ini hanya sekali; jangan menyia-nyiakannya, dan masih banyak lagi hal yang dapat dikatakan untuk mendeskirpsikan hidup ini tentang apa—hidup ini bla bla bla… terserah suka suka saja mau hidup ini bagaimana. Namun dari semua hal itu, penting untuk selalu diingat bahwa belum tentu kita memiliki umur yang panjang, belum tentu kita memiliki umur yang sekiranya cukup untuk dapat memiliki semuanya. Perlu diingat, tidak semua hal harus kita dapatkan. Tidak semua definisi tentang bahagia harus kita miliki dan kita alami sendiri. Cukuplah ambil saja apa yang paling kamu butuhkan, apa yang bermanfaat bagimu dan tentu saja yang sangat bermakna untukmu.

Hidup ini singkat dan hidup ini indah, maka jangan lupa bahagia dan jangan lupa menikmatinya. Sekadar bahagia, bisa lah didapatkan dengan cara memakan makanan yang enak. Ya, terkadang memang sesederhana itu; memakan makanan yang enak pun membuat seseorang bahagia.

Namun jika aku diberikan banyak pilihan tentang memakan makanan, yang sudah terhidangkan untukku, yang semuanya sudah siap untuk kunikmati, selama perutku mau aku akan lebih memilih makan nasi terlebih dahulu, sebab itu yang memang aku butuhkan, dan ketika aku sudah puas dengan nasi, maka tak apa aku tidak jadi memakan makanan enak lain yang sudah terhidangkan untukku. Memilih nasi itu adalah yang terpenting untukku soal memakan makanan, apalagi jika aku sampai begitu lahap memakannya—rasanya sudah lama sekali aku kehilangan nafsu makan yang baik. Ketika di situ ada pilihan makanan, dan aku lebih memilih makan nasi; aku bahagia.

Masih soal makanan, karena sekarang ini adalah musim mangga aku pun tidak ketinggalan untuk menikmatinya. Aku sangat menikmati mangga dingin yang sudah disimpan di kulkas terlebih dahulu, lalu dipotong kotak-kotak, dimasukkan ke dalam mangkok cap ayam jago merah, kemudian disiram dengan Yakult yang juga dingin. Yakult-nya asem-asem dan mangganya manis, boleh juga dicampur dengan pepaya merah yang dipetik dari kebun dan rasanya sangat manis itu atau boleh ditambah dengan pisang, nikmat juga dan aku bahagia. Sekarang soal perut, selain makanan, perut juga terisi oleh minuman dan soal itu sekarang ini aku sedang sangat suka menikmati kopi yang disajikan dengan cold-brew. Tentu saja aku bikin sendiri dan meraciknya sendiri. Sekarang kan masih pandemi, aku sedang anti nongkrong-nongkrong. Apalagi cuma sekadar menikmati kopi, yang aku bisa bikin sendiri. No. Bukan pandemi pun, ahir-akhir ini aku tidak banyak nongkrong-nongkrong, sebab ya balik lagi, nongkrong-nongkrong itu bukan soal di mana dan kapan, tetapi soal dengan siapa kamu melakukannya. Percuma nongkrong kalau tidak asik ya, kan? Kopi cold-brew emang mantaaaap dan aku bahagia.

Hidup ini bermakna dan aku sedang mencari maknanya. Lalu aku menemukan makna hidup ini melalui berbagai permenungan, perjalanan, diskusi dan juga dari kegiatan menulis-membaca.

Jika aku memang telah menemukan makna hidup dari aneka kegiatan yang sudah kulakukan itu, mengapa aku masih menyebut bahwa aku sedang mencarinya? Ya hidup ini bermakna dan makna hidup selalu diperbaharui seiring berjalannya waktu. Hidup ini dinamis… ya hidup ini dimanis sekali, dan karena itu tentu saja makna hidup pun dinamis.

Apakah tidak bisa dijelaskan dengan cara yang lebih sederhana?

Bisa.

Hidup ini akan bermakna jika digunakan untuk banyak beribadah. Dalam kitab yang nyata, Allah telah berfirman, “Tidak kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.” Itulah sebaik-baik hidup dan itulah sebaik-baik tujuan hidup, itulah sebaik-baik hal yang mestinya dilakukan dalam hidup ini. Hiduplah menjadi bermakna, berusaha hidup sesuai dengan yang telah Allah pilihkan untuk kita, sesuai dengan citra yang telah ditulis di kitab Lauh al-Mahfudz, hiduplah untuk beribadah.

 Hidup ini hanya sekali, jangan menyia-nyiakannya sebab kita belum tentu memiliki umur yang cukup untuk melakukan sesuatu yang sama pada kesempatan berikutnya dalam hidup yang sangat dinamis ini. Pencarian demi pencarian dalam hidup yang dinamis mengantarkan aku pada diskusi dan pembacaan. Lalu saat ini aku sedang mengupas, menilik, menyari sebuah karya dari Albert Camus, Mitos Sisifus. Aku berencana akan mengupas semua karya Albert Camus diawali dari Mitos Sisifus ini. Banyak hal yang ingin aku kupas termasuk karyanya yang lain—Orang asing, Sang Pemberontak, Sampar dll. —Untuk membuktikan thesis yang sedang kuajukan. Banyak hal yang mendadak ingin aku kupas karena Albert Camus—penulis yang enggan disebut filosof yang dulu pernah kuabaikan karena aku tersiksa oleh satu karyanya yang berjudul The Fall—telah memberikan sedikit pencerahan padaku.

Beberapa karyanya sudah kubaca selintas berlalu. Membaca halaman-halaman dengan acak, kadang lompat-lompat dan kadang membaca karyanya yang terserak di buku lain.

Kadang yang sepintas berlalu seringkali meninggalkan kesan mendalam, seperti seseorang yang kita temui di suatu tempat—kita tidak saling mengenal namun tersenyum satu sama lain, berbicara dan tertawa, gembira dan kemudian kita menjadi sangat nyaman dengannya tetapi sampai di akhir pertemuan kita tidak pernah kenalan. Hal yang kemudian menjadi berarti karena tanpa pernah menyengaja kita menyimpannya dalam hati. Kira-kira kesan seperti itulah yang aku dapatkan ketika membaca kalimat Albert Camus ini, “Hanya ada satu cara untuk berhubungan dengan dunia dan manusia-manusia di dalamnya—melalui cinta—kecuali bila orang ingin membengkokkan kenyataan.” Kesan yang begitu mendalam, tetapi aku belum bisa menemukan sebuah jembatan atau sebuah kalimat yang bagus untuk dirangkaikan sebagai thesis yang ingin kuajukan.

Dengan semangat itulah aku mengawali Mitos Sisifus yang mengandung pencarian makna hidup yang topik sentralnya adalah mengenai absurditas, tentang apa yang kita inginkan dan apa yang sebenarnya kita temukan dalam hidup. Aku tidak akan membahasnya di sini.

Berkaitan dengan Mitos Sisifus, waktu dan buku-buku yang ingin aku baca berkelindan pula dengan durasi waktu yang kita miliki.

Beberapa buku memang berguna dan bermanfaat untuk kamu, tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini ada lebih banyak buku yang tidak bermanfaat untuk kamu. Banyak buku yang kualitasnya sampah berserakan di sekitar kita. Buku yang bagus hanya akan dibaca oleh pembaca yang bagus pula. Oleh karena itu pandai-pandailah memilih bacaan yang sesuai, yang bagus dan yang memang bermanfaat untuk kamu.

Leo Tolstoy pernah bilang padaku ketika aku bertemu dengannya di musim dingin, ia mengutip dari Lucius Annaes Seneca, begini, “Ada terlalu banyak buku berkualitas rata-rata yang hadir hanya untuk menghibur pikiranmu. Oleh karenanya, bacalah hanya buku-buku yang tanpa ragu dianggap bagus.” Bagimana cara mengetahui buku yang bagus untuk kamu? Kamu akan tahu ketika kamu berhadapan dengan buku-buku itu. Ia juga mengutip dari Henry David Thoreu, “Bacalah buku terbaik, kalau tidak kau akan mendapati bahwa kau tidak punya waktu.”

Seiring dengan wakti dalam perjalanan-perjalanan itu, selain bertemu Albert Camus dan Leo Tolstoy, aku juga bertemu dengan Kafka, Murakami Haruki dan Hemmingway. Karya-karyanya sangat bagus dan sangat hebat. Ya buku-bukunya sangat bagus dan hebat, tidak heran Kafka dan Hemmingway pernah meraih nobel sastra dan Murakami cukup puas cuma menjadi nominasi saja tetapi meskipun begitu buku-bukunya… entahlah… sepertinya tidak bermanfaat untukku. Kecuali karyanya Murakami yang judulnya Sputnik Sweetheart. Benar kata salah seorang blogger di wordpress ini, ia pernah berkomentar kalau “Sputnik Sweetheart, adalah karya yang sangat manis dari Murakami dan aku setuju. Murakami, Kafka, Hemmingway… lama-lama kupikir mereka ini seperti orang PKI.

Ah PKI dan G30/S-nya, serta orang-orang yang suka mengambilnya untuk dijadikan polemik tahunan, ini juga sama absurdnya. Aku tidak paham dengan gerakan meluruskan sejarah. Yang kupahami gerakan-gerakan dan agenda-agenda yang berkelindan dengan PKI—termasuk yang anti-PKI dan yang membawa narasi PKI adalah musuh Pancasila, juga yang mebawa narasi tandingan—memiliki agenda yang terselubung. Bagaimanapun juga, seperti kata Gus Dur, pemerintah hanya bisa melarang institusi, PKI sebagai institusi bisa dilarang tetapi PKI sebagi ideologi tak pernah bisa. Sebab ia berada di wilayah pikiran. Aku tidak mau bertele-tele soal PKI, sebab aku sangat awam itu satu. Yang kedua itu adalah wilayah masa lalu yang kisah sebenarnya sudah simpang siur. Kalau PKI mau bangkit lagi, bangkit aja. Dari pada terus-menerus terjebak pada narasi ini menjadikan kita seperti orang yang gagal move on.

Yang perlu aku catat, Indonesia itu adalah salah satu negara yang memprakarsai gerakan Non-Blok. Dimana gerakan itu muncul karena situasi politik di dunia internasional yaitu perang dingin antara Soviet dan Amerika. Perang ideologis antara komunis vs kapitalis. Kalau mau diurut lagi itu semacam perang antara Manifesto Komunisme dan Declaration of Independence. Masih mau dijabarkan lagi itu seperti Karl Max vs Adam Smith. Yah perang ideologis… dan Indonesia tidak menganut keduanya, tidak condong pada satu pihak pun, seperti pidato Bung Karno di depan PBB tahun 1960 saat menawarkan Pancasila kepada dunia internasional, “Itulah intisari dari peradaban Indonesia selama dua ribu tahun.” Jadi narasi apa pun yang punya agenda untuk meracuni ideologi Pancasila, entah itu dari komunis, agama atau ideologi apa pun ya, tidak perlu kugubris aja.

Ah sudah begitu panjang saja tulisan ini padahal banyak hal yang masih ingin kutulis. Selain itu, aku masih kekurangan data dan referensi. Pusing juga cara menyampaikannya, apalagi kalau cuma didasarkan pada dugaan, salah-salah bikin repot aja. Lain kali kalau bahannya sudah lengkap akan ku kupas semuanya. Semuanya… tentang Mitos Sisipus dan karya Albert Camus yang lain, yang intinya adalah perang melawan mazhab fenomenologis dan ekstensialis, orang-orang yang menghancurkan hidup dengan bunuh diri karena merasa tidak menemukan kebermaknaan dalam hidup, dan sebagainya.

Saya Andy Riyan dari Desa Hujan

11 Comments Add yours

  1. Noona says:

    Orang Asing dari Albert Camus seperti racun yang menggiurkan ketika pertama kali dibaca. Pemikiran Camus yang diungkapkan dalam pemikiran dan sikap Mersault sangat berbeda dari norma sosial, tapi anehnya aku memahami dan menyukai Mersault, menyukai kejujurannya.
    Ada satu kutipan yang aku suka di buku Orang Asing, Camus kurang lebih begini, “Kita tidak pernah tahu apa yang kita suka, akan tetapi kita selalu tahu apa yang tidak kita suka.”

    Liked by 1 person

    1. jejakandi says:

      Noted* terima kasih sudah meninggalkan kutipan dari Albert Camus-nya. Aku catat.

      Oh aku tidak tahu kalau Mersault berbeda dengan kebanyakan orang, kukira jauh di dalam hati semua orang ya seperti Mersault. Ada sebuah perasaan absurd atas apa yang diinginkan dan yang terjadi. Sekali lagi terima kasih Noona.

      Like

      1. Noona says:

        Sama-sama 😊
        Bisa jadi semua orang di dalam hatinya seperti Mersault, tapi tidak seberani Mersault untuk menunjukkannya dalam bentuk sikap dan perilaku. Pandangan orang lain yang melihat Mersault sebagai seorang yang asing, menyimpang dari norma sosial, bahkan membuat konklusi atas hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan. Menyedihkan ketika orang-orang tidak mempercayai ucapan pembelaannya hanya karena dia tidak menangis ketika ibunya meninggal.

        P.S: Temanku ketika membaca Orang Asing dari Albert Camus bahkan merasa pemikiran dan perilaku Mersault sangat aneh dan ekstrem, sedangkan aku merasa bisa memahami Mersault. Mungkin ini hanya masalah perbedaan perspektif dari hasil pengalaman hidup yang berbeda.

        Liked by 1 person

      2. jejakandi says:

        Soal Mersault tidak bersedih ketika ibunya meninggal, aku bisa memahaminya meskipun itu sangat aneh. Dan perasaan yang ditunjukkan Mersault kepada ibunya seketika melahirkan penolakanku terhadap Mersault. Namun tentang hal-hal lain yang ia tunjukkan dengan begitu jujur sangat indah dan begitu manusiawi, aneh saja rasanya aku menikmati sebagai Mersault yang seharian duduk sendiri memperhatikan jalanan dan bahkan ia bisa mager untuk membeli makanan karena malas berbincang-bincang dengan orang lain. Sikap Mersault ini seharusnya bisa dijelaskan dalam Mitos Sisifus–Abstraksi dari semua karya-karya Albert Camus.

        Like

      3. Noona says:

        Benar. Rasa-rasanya Mersault adalah bagian dari diri kita yang kita nikmati namun ingin kita ingkari. Mitos Sisifus bukannya sudah menjadi fokus pehatian Albert Camus? Aku belum menyelami Albert Camus dengan dalam, hanya menikmati narasi Absurditasnya mengenai hidup yang bagiku lebih realistis hehe

        Liked by 1 person

      4. jejakandi says:

        Ah ya benar jadi itu kalimat yang sedang aku cari untuk menjembatani karya Albert Camus, “Mersault adalah bagian dari diri kita yang kita nikmati namun ingin kita ingkari.”

        Ya Mitos Sisifus adalah diskusi terbuka yang ditawarkan oleh Albert Camus, sebuah alternatif dari dua kasus “meaningless life” dan “life is no meaning”. Sebelum diskusi terbuka dalam bab Mitos Sisifus, Albert Camus menjabarkan absurditas, bunuh diri, mazhab eksistensi dan fenomenologi. Kalau dalam karya ilmiah Mitos Sisifus ibarat abstraksinya sedang The Stranger dan The Plague itu studi kasusnya. Gitu sih. Aku juga belum masuk lebih dalam. Dan ya aku juga setuju, narasi absurditasnya emang menggiurkan. Gak nyangka aja Camus sejenius itu, sekilas itu karya yang yah boleh dibilang seperti tak menyampaikan apa-apa. 😁 😁 😁 Tetapi duh ternyata sangat dalam.

        Like

      5. Noona says:

        Wahhhhhh… terima kasih untuk penjelasannya
        Setelah The Stranger belum baca lagi buku Camus yang lain karena merasa perlu mengosongkan pikiran untuk menikmati karya Camus.
        Memang terasa tidak menyampaikan apa-apa atau sejenis kebijaksanaan yang biasa ditemukan di buku-buku mengenai perspektif kehidupan. Tapi perasaan yang muncul setelah membaca The Strangernya Camus cukup bisa mangaduk-aduk perasaan dan pemikiran dengan sebuah perspektif yang baru. Merasa menemukan seseorang yang menyuarakan kehidupan dengan lebih manusiawi.

        Liked by 1 person

      6. jejakandi says:

        Waaah sama-sama, Noona. Betul karya-karya begitu indah. Tapi… Sayangnya segmen pembacanya hanya orang orang tertentu saja. Ia bukan karya pop yang bisa dinikmati berbagai kalangan. Untuk sampai pada tingkat mendalami pikiran Camus, sepertinya harus masuk dulu ke mode kosong dan pencarian makna.

        Like

      7. Noona says:

        Memang. Dan nama Camuspun kurang terdengar gaungnya di Indonesia, tidak seperti Sartre (meskipun Sartre juga segmen pembacanya juga orang tertentu). Tapi aku pernah membaca kalo pemikiran Camus lebih diminati di Indonesia daripada Sartre hehe
        Merekomendasikan karya Camus ke orang lain dan menemukan orang yang menyukai karya Camus juga susah.
        Nah benar, terkadang orang-orang tidak berminat dengan karya Camus juga karena tidak menangkap makna apapun dari karyanya.

        Like

      8. jejakandi says:

        Camus dan Sartre persahabatan yang sangat ironis. Mereka dulunya sahabat dekat lalu ketika pertengkaran terjadi, Camus mendiamkan Sartre sampai kematiannya. Sartre tersiksa karena diabaikan oleh Camus, dan dia sampai mati tersiksa oleh penasaran. Ahahahah… Entahlah kenapa aku merasa puas ketika Camus menusuk Sartre hanya dengan diam.

        Betul gaungnya di Indonesia tidak begitu besar. Mungkin karena Sartre lebih kiri dan jelas-jelas mendukung komunis. Sedangkan Camus, meskipun mendukung kebebasan proletar, ia tak sepenuhnya mendukung pemikiran kiri. Ia menentang nihlism kan. Jadi kurang diminati. Selain itu pemikiran Camus itu tidak dinyatakan secara terang-terangan. Tetapi justru disitulah ketidakterang-terangannya Camus membuatku jadi relate untuk menafsirkan pemikiran, terutama pencarian makna dalam kehidupan modern sekarang ini. Asli dia jenius.

        Like

      9. Noona says:

        Wahhhh….saya juga berpikir begitu. Persahabatan yang retak karena sebuah perbedaan pemikiran. Aku belum membaca karya-karya pemikiran Sartre, tapi sudah memustuskan untuk memihak Camus. Pidato Nobel Camus sudah menjadi magnet yang menarikku untuk memihaknya.
        Setuju. Ketidakterangan-terangan Camus, bahkan dari segi deklarasinya untuk tidak menerima gelar filsuf. Latar belakang Camus juga cukup menarik dan mungkin itu salah satu faktor yang membuat pemikiran Camus dari pemikir-pemikir yang lain.
        Jenius karena sudah menjadi racun yang tak terlihat.

        Like

Katakan sesuatu/ Say something

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.