Tentang Revolusi dan Pemberontakan bag. 2

Secara ringkas, pemberontakan adalah revolusi yang gagal.

Pemahaman dangkal tentang perbedaan yang paling mendasar antara keduanya ini pernah kutuliskan agak panjang di blog ini. Lalu belakangan, setelah belajar lagi dan lagi, beberapa hal yang mulanya begitu abstrak mulai kupahami bahwa pemberontakan memiliki makna yang lebih luas, nyata dan mendalam dari hanya sekadar revolusi yang gagal, bahwa pemberontakan begitu sering terjadi di sekitar kita. Pemberontakan tidak hanya sekedar revolusi yang gagal, tetapi memang sejak awal apa yang dinamai pemberontakan memang hanya akan berakhir sebagai revolusi yang gagal. Sungguh sebuah kegiatan iseng untuk menyia-nyiakan hidup.

Baca Kudeta atau Revolusi yang Gagal (Revolusi Bag. 1)

Perbedaan antara revolusi dan pemberontakan akan terlihat begitu besar ketika diajukan kepadanya sebuah pertanyaan, apakah situasi yang terjadi itu adalah sebuah situasi yang dilangsungkan untuk merombak tatanan atau hanyalah suatu kondisi yang hanya layak disebut sebagai suatu usaha memberontak? Apakah hanya sebuah upaya seorang bawahan yang tidak puas dengan apa yang didapatkan lalu menuntut sang bos untuk mundur dan ia menjadikan orang lain atau dirinya sebagai pemimpin sehingga integritasnya terjamin? 

Meminjam istilah dari Albert Camus, sang pemberontak adalah orang yang mengatakan “tidak”. Sang pemberontak telah menetapkan pada dirinya batas-batas yang tidak bisa dikikis oleh orang lain. Yaitu suatu batasan tertentu yang tidak boleh didominasi oleh orang lain.

Pemberontakan dilangsungkan hanya sebagai sebuah situasi yang reaksioner. Sama sekali tidak visioner apalagi revolusioner. Hanyalah sebuah reaksi untuk mengatasi ketidakseimbangan dirinya, demi menata kembali integeritasnya. Ia hanya mendobrak dan merobohkan hal-hal yang telah mengekang dan merebut batas-batas dirinya yang tidak boleh didominasi oleh orang lain.

Jika orde baru ditumbangkan, tetapi tidak menggantinya dengan sebuah bentuk yang baru, apalagi hanya sekadar mengganti rezim lama dan cara-cara lamanya dengan rezim yang baru tetapi cara lama tetap diteruskannya. Penumbangan tirani lama untuk membentuk tirani baru, birokrasi dan sistemnya masih saja sama, bahkan wajah-wajah lama masih bermain di sana, penumbangan itu hanyalah sebuah pemberontakan. Meskipun kita tahu ada banyak hal yang berubah, banyak tatanan baru yang berubah sejak reformasi 1998, namun bisakah kita menyebutnya itu hanyalah sebuah situasi yang reaksioner? Apakah masih perlu waktu untuk menjawabnya? Sebab revolusi adalah perubahan total dan mendasar atau tidak sama sekali. Dan tentu saja perubahan yang masif seperti itu membutuhkan waktu yang sangat lama dan sama sekali tidak instan. Pun pula gagasan besar yang diusung mestinya telah dibangun di atas pondasi yang kokoh, kuat dan memiliki visi yang jelas. Jika hanya tumbang, dan setelah semuanya hancur ditinggalkan begitu saja, boleh lah dinamai sebagai pemberontakan. 

Bagaimana dengan wacana dan narasi Revolusi Mental?

Apakah itu Revolusi Mental… aku sama sekali tidak paham. Aku belum membaca essai dan gagasan mendasar yang ditawarkan. Aku tidak melihat bangunan yang nyata dan kokoh yang menyusun bagaimana filosofi dari revolusi mental itu ditegakkan. Atau… aku perlu memaklumkan diriku sendiri saja kalau aku mainnya kurang jauh. Ah ya… begitu saja, “mainnya kurang jauh.”

Seorang yang revolusioner mengubah semua tatanan atau tidak sama sekali. Ia menggantinya dengan ide dan tatanannya sendiri. Ia tidak hanya merobohkan tatanan dan sistem lama. Tidak hanya menawarkan sebuah gagasan tanpa pondasi yang kuat. Tidak hanya sekadar menyampaikan opini populis. Seorang revolusioner membentuk sebuah bangunan idealnya sendiri dan tidak melanjutkan atau bahkan cuma menggunakan sistem dan tatanan lama dengan cara lama, hanya berubah wajah-wajahnya. Seorang revolusioner menempatkan gagasan besarnya dengan sangat jelas dan ditopang oleh landasan berpikir yang kokoh dan visi yang terarah. Inilah mengapa pemimpin itu ada dua macamnya, yaitu pemimpin besar dan pemimpin saja. Pemimpin besar adalah pemimpin yang menulis, sedang pemimpin biasa, tidak.

Jika ada seorang pemimpin yang melakukan sebuah gerakan mengganti sistem lama tetapi ide kepemimpinan dan gagasan-gagsannya adalah gagasan lama, maka ia bukan seorang revolusioner, ia hanyalah seorang pemberontak.


Tulisan ini dibuat dalam rangka belajar menulis essai kecil-kecilan. Tulisan ini, nanti bisa kujadikan sebuah titik acuan ketika aku ingin melihat bagaimana perkembangan logika berpikir dan perkembangan bagaimna aku menyusun struktur bahasa ungkapnya.

Katakan sesuatu/ Say something

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.