
Sometimes it’s not easy to express your true feeling. Terkadang tidak mudah bagimu untuk mengungkapkan perasaanmu yang sebenarnya. Sejujurnya, untukku, bahkan selalu sulit. Sampai-sampai aku merasa telah kehilangan kemampuan untuk melakukannya. Orang-orang yang kutemui terlanjur mengenalku… atau aku yang terlanjur membawa diri ‘hanya punya satu sisi dalam hidup’.
Orang-orang terlanjur mengenalku sebagai pribadi yang tangguh, ceria, penuh semangat dan energik seperti tak kenal lelah. Mereka bahkan tak akan menerima jika aku tidak begitu, mereka menutup mata untuk sisiku yang lain.
Aku pun terkadang merasa lelah, sedih, galau dan bahkan sangat rapuh tetapi aku tidak pernah bisa menunjukkan sisi itu. Orang-orang tidak mengenal sisiku yang lain dan aku telah terlanjur membawa diri pada keadaan yang demikian. Aku terkadang mengeluh, kepada siapakah aku boleh menunjukkan sisi yang lain ini?
Keadaan seperti ini belakangan mengapung ketika aku mengalami kegalauan yang luar biasa, sementara aku tidak mampu mengekspresikan diriku, pada Desember tahun 2020 yang lalu. Kegagalan mengekspresikan diri itu membuatku kembali menengok Facebook untuk menghibur diri sendiri, setelah sekian tahun aku off. Pada pertengahan Desember tahun 2020 itu aku menyempatkan diri untuk menyapa semua orang di sana dan memberi kabar melalui video yang aku unggah.
Sebenarnya aku telah kehilangan kontak dengan lingkaran temanku yang dulu-dulu atau aku yang menghilangkan diri sendiri dari mereka? Aku tidak tahu yang mana yang lebih mendekati kebenaran. Sebab itu hanyalah ketidaksengajaan ketika nomor telponku hangus sehingga tidak aktif lagi dan tidak dapat dihubungi, sementara aku pun sudah memutuskan untuk meninggalkan Facebook yang begitu menjenuhkan, di mana banyak lingkaran temanku yang berada di sana dan begitulah… kejadiannya, aku menghilang dengan sangat sempurna. Temen-temen lamaku telah kehilangan nomorku dan aku tidak berniat ingin memberi tahu nomor baruku. Saat itu yang terpikir olehku adalah… siapa sih yang sebenarnya pernah menjadi atau paling tidak pernah kuanggap sebagai temanku? Aku memang mengenal banyak orang dan ‘agak sedikit’ populer, tetapi aku tidak merasa aku memiliki teman.
Dengan mundurnya aku dari Facebook dan nomor telponku yang hangus, pelan-pelan tercipta ruang dan jurang pemisah yang dalam. Tercipta suatu jeda sedemikian sehingga kita tak pernah saling berkabar ataupun bertukar cerita.
Di antara jeda itu, banyak hal telah berubah dari hidupku, demikian pula, cara berpikir dan berbicaraku, banyak hal telah berubah.
Ketika aku menyapa melalui video yang kuunggah pada pertengahan Desember itu, beberapa orang menghubungi ku melalui pesan. Obrolan-obrolan singkat (chatting) terjadi kemudian di satu momen seseorang mengatakan padaku bahwa ia senang akhirnya dapat bersua dengan aku yang dulu, yaitu aku yang ceria, semangat dan bergelora… ia mengatakannya bahwa ia senang karena semangatku selalu bisa menulari, bagikan api yang membakar. Aku terpana, terbata, tertegun, tercenung dan ter ter ter yang lain… seperti itukah aku? Aku yang sedang lelah, sedih, galau dan rapuh masih membakar semangat? Adakah aku tak terlihat sedang bersedih dan lelah?
Aku jadi begitu yakin bahwa di medsos orang-orang cuma menampakkan hal-hal yang seneng-seneng aja. Susahnya, struggle-nya tak ada yang tahu. Buktinya aku sendiri tak sanggup membagi kisah dan sisi hidupku yang sedih sedih dan menyedihkan. Kalau ada orang yang bikin cerita tentang perjuangnnya yang begitu berat hingga berdarah-darah, yang begitu sedih sehingga disisipkan padanya kisah sok inspiratif disertai pesan bijak agar tetap semangat karena kamu bukan orang yang paling susah—karena masih ada yang lebih susah—mungkin itu cuma konten saja.