
Suatu hari di awal bulan Februari, ya bulan lalu tepatnya hari Jumat tanggal 5 sebagaimana tanggal yang kucatat di buku harian, aku baru saja selesai membaca bab pertama dari buku “Matahari dan Baja”, sebuah terjemahan dari “Sun and Steel” karya Yukio Mishima. Buku kedua dari Misihima yang kubaca setelah “The Temple of The Golden Paviliun”. Aku masih ingat, hari-hari itu, aku masih menjalani hidupku yang kurasakan begitu berat, tetapi aku begitu yakin, hari-hari berat yang kujalani tidak akan mempengaruhi diriku dalam memahami suatu buku. Hari itu sebagaimana biasanya; Jika kamu tinggal di Desa Hujan; Udara sangat dingin, angin bertiup kencang dan hujan yang tak pernah reda. Dan aku tidak mengerti, kecuali sangat sedikit, dari apa yang disampaikan di buku yang diterbitkan tahun 2019 oleh Penerbit Circa itu.
Aku sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya ingin disampaikan. Aku hanya menangkap sedikit tentang “Kata-kata”, “Tubuh”, “Daging”, dan sebuah kalimat “Jika diriku adalah rumah maka daging adalah kebunku, aku bisa menanami apa saja pada kebunku dan juga bisa membiarkannya terjamah oleh rumput. Di lain kali orang-orang kadang menyebut kebun—apakah seseorang kemudian dapat memetik buahnya (dari kebun itu) atau tidak merupakan bagian dari takdir”.
Aku mengerti tetapi aku tidak mengerti dan sialnya aku kekurangan waktu untuk menekuni buku buruk yang sangat menyiksa ini, dan sampai saat ini aku masih berhenti di beberapa halaman pertama. Jika suatu saat aku memiliki waktu yang cukup luang, mungkin perlu untuk membaca ulang dan menyelesaikannya, sebagaimana buku-buku yang dulu sangat sulit kupahami—dan baru beberapa tahun (kira-kira bahkan telah menunggu hingga 5-6 tahun) buku itu bisa kupahami.
Sekali lagi, aku tidak mengerti apa yang sebenarnya ingin disampaikan di sana, sehingga aku hanya menduga-duga dan menafsirkan sendiri atas apa yang muncul dalam kepalaku seiring dengan kegiatan membaca, daripada memberikan simplifikasi tentang yang kupelajari, yang kudapatkan dan yang kupahami dari kegiatan membaca buku ini.
Sekarang aku mengerti—[kadang-kadang kesadaran memang muncul seketika, ketika sedang menulis, sebagaimana yang kuyakini bahwa menulis dan membaca adalah berpikir]—mengapa aku sangat “kepayahan” dan merasa setress ketika tidak mampu menangkap apa yang coba disampaikan oleh penulis melalui karya-karyanya. Lalu memangnya kenapa jika aku tidak memahami? Seharusnya aku tetap bebas dan tetap memiliki kemerdekaan diri dari pemahamanku. Jika aku tidak memahami suatu buku, itu bukan salahku, itu salah penulisnya yang tidak bisa menjelaskan dengan baik. Atau salah penerjemahnya yang telah mengalihbahasakan dengan sangat buruk.
Ya… ya… ya… aku tahu kau juga akan mengatakan bahwa itu juga salahku yang tidak memiliki seperangkat kecerdasan untuk memahaminya… aku tahu kau akan mengatakan seperti itu. Dan… kau… salah!
Lalu kenapa aku tetap membaca jika aku tidak memahami?
Apa pertanyaan bodoh seperti ini harus kujawab? Ya jika memang ingin memahami salah satunya cara memang tetap membaca dan membaca lagi. Mungkin maksud pertanyaanmu adalah mengapa kamu ingin membaca dan mesti memahami? Nah kalau pertanyaannya seperti itu, aku anggap itu adalah pertanyaan cerdas dan pertanyaan yang sangat bagus.
Aku membaca, pada awalnya memang bertujuan untuk memahami. Sebab membaca terutama buku, seperti memakan makanan untuk tubuh, membaca adalah memberikan makanan untuk jiwa. Dan pada kesadaran setelahnya aku mulai memahami diriku dan kebutuhan jiwaku bahwa tidak selalu dan tidak seharusnya aku menyusahkan diri sendiri untuk selalu memahami… selalu tahu dan selalu berkeinginan kuat untuk memecahkan teka-teki, yang demikian itu adalah gairah terbesar yang juga kadang justru menjadi satu dari banyak kelemahanku. Sebab aku mestinya tahu bahwa puncak dari kemerdekaan dan kebebasan adalah tahu batas dan batasan diri.
Seharusnya aku membiarkan kata-kata yang masuk ke dalam diriku dan membuatku tenggelam di dalamnya. Bukan sebaliknya, yakni menjejalkan kata-kata itu ke dalam diriku dan menenggelamkan diri sendiri dalam usaha yang berbahaya sebagaimana aku berharap akan mampu berenang dalam lautan kata-kata itu. Sebab tenggelam dan menenggelamkan diri adalah dua hal yang berbeda dan hal yang sangat penting yang harus dipegang dan dijadikan prinsip. Walau memang, terkadang seseorang harus membiarkan dirinya tenggelam dan di kali lain ia sendiri lah yang harus menenggelamkan diri. Namun dalam kasusku yang sekarang, lebih baik aku memilih pilihan yang pertama.
Kesimpulannya, aku membaca untuk membaca dan memperluas jangkau dan kemungkinan… memperluas dan memperbesar peluang untuk dapat memahami lebih banyak. Harapannya ketika ia—sejumlah kata-kata itu—pernah masuk dalam pikiranku dan telah berproses dalam diriku, ia akan menemukan tempat dan perannya suatu hari nanti.
Demikian, saya Andy Riyan dari Desa Hujan.
Salut dan keren memahami apa yang sudah dibaca, memang banyak pesan yang ditulis orang lain, dan secara tidak sadar kita menemukan puzzle dari tulisan orang lain.
LikeLike
Halo, Mang Nunu dah lama gak jumpa. Yoi setuju, kepingan puzzle kadang berserakan di tempat lain yang tidak pernah di duga.
LikeLike
Selalu dibuat terkesima dengan kedalaman pikiran dan dialog pribadi yang dilakukan oleh Mas Andi. Dalam, chaos, tapi juga akur.
LikeLike
Ahahah komentar lama, baru kebaca nih. Duh Chaos… Iya pikiran ini emang chaos banyak hal yang berbenturan, tetapi apa pun yang terjadi berdamai dengan diri sendiri adalah koentji
LikeLiked by 1 person