“Aku bersyukur nikahnya baru sekarang.” Itu jawaban yang selalu kukatakan kepada orang lain yang menduga bahwa aku menyesal kenapa tidak menikah sedari awal.
Tulisan kali ini lahir untuk menjawab topik itu. Mereka menduga aku menyesal, jika pernikahan memang segini indahnya, kenapa tidak sedari awal saja aku melakukannya. Tidak, aku tidak menyesal dan aku sama sekali tidak pernah merasa terlambat untuk menikah. Pernikahan yang kulakukan berada di waktu yang tepat dan saat yang tepat. Aku selalu memegang prinsip, jangan dikira kita terlambat untuk sebuah hal yang pengaturannya sudah ditentukan oleh Allah. Jodoh, rezeki dan kematian dan banyak hal yang tidak kita ketahui sungguh telah ditentukan oleh Allah saat dan ukurannya.
أرح نفسك من التدبير، فماقام به غيرك عنك لا تقم به لنفسك
Arah nafsaka min at tadbiir, fa ma qaama bihi ghairuka ‘anka laataqum bihi linafsik.
Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu ‘Athailah berkata, “Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu. Urusan yang telah diatur oleh Allah tak perlu kau sibuk ikut campur.
Ya. Hal-hal yang telah ditentukan oleh Allah, aku tak perlu sibuk ikut campur. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku terlambat menikah sebab aku sangat yakin aku menikah di saat dan keadaan yang sangat tepat sebagaimana pengaturan Allah untukku. Kalau dalam bahasanya Abi Quraish Shihab, Habib yang begitu mendalam ilmu dan begitu santun akhlaknya itu, “Bisa jadi keterlambatanmu terhadap sesuatu adalah kebaikan untukmu.”
Aku katakan kepada mereka, “Aku bersyukur nikahnya baru sekarang.” Sebab jika nikahnya dulu, bisa jadi aku belum berdamai dengan diriku sendiri. Bisa jadi aku masih menuntut terlalu banyak terhadap istriku. Bisa jadi egoku tak bisa diredam dengan mudah. Bisa jadi aku marah-marah sepanjang waktu dan sangat mungkin aku menyesalinya karena jika aku menikahnya sudah dari dulu pasti perempuan yang kunikahi bukan istriku yang sekarang ini.
Hidup benar-benar telah membuatku memahami dan membuatku semakin mudah memaklumi orang lain. Bahwa orang-orang terkadang, hemm bukan terkadang lagi tetapi sering, memberikan penilaian dengan standar mereka sendiri. Seperti bahwa menurut mereka aku kurang cepat menikahnya. Bahwa beberapa orang, hemm bukan beberapa lagi tetapi hampir semuanya, menilai orang lain berdasarkan asumsi dan anggapan dirinya sendiri. Seperti bahwa, jika menurut anggapan mereka, aku menyesal kenapa baru sekarang menikahnya. Dan yang membuatku berkali-kali tak habis geleng-geleng kepala, tetapi kemudian aku memakluminya karena tingkatan berpikir mereka memang baru sampai di situ, adalah yang berulang kali ditanyakan dan dibahas tidak jauh dan bahkan sangat menjurus tentang urusan selangkangan. Tidak laki-laki, tidak perempuan, bapak-bapak bahkan ibu-ibu membicarakan dan menanyakan bagaimana urusan selangkangan setelah menikah.
Dan aku memang harus banyak memaklumi mereka ketika mereka terheran-heran dengan jawaban-jawaban yang kuberikan, harus kupahami bahwa mereka tidak memahami jalan berpikirku, sebab apa yang bisa kuharapkan dari pemahaman mereka terhadap jalan berpikirku yang ‘mungkin’ tidak lazim? Yang tidak sesuai dengan harapan dan dugaan mereka? Dan… memang apa yang bisa kuharapkan dari pemahaman mereka yang bahkan ketika menulis masih membubuhkan spasi sebelum tanda baca? Dan… memang apa yang bisa kuharapkan dari pemahaman mereka yang lebih banyak berbicara daripada mendengarkan? Yang lebih banyak berkomentar daripada membaca? Ya. Hidup membuatku memahami. Dan guru spiritualku mengajarkan, “Bila hidup membuatmu semakin berpengalaman, maka kamu akan semakin memahami dan orang yang banyak memahami akan menjadi banyak dan mudah maklum terhadap orang lain.”
Dan setelah sekian banyak keheranan dan perspektif yang dipakai orang lain untuk memandang diriku, aku pun kemudian tidak pernah menuduh lagi terhadap jawaban, perilaku, keputusan dan cara orang lain mengambil keputusan mereka. Karena bisa jadi dan sangat mungkin apa yang orang lain pikirkan, lakukan dan putuskan—yang jika itu tidak sesuai dengan diriku—adalah bahwa aku yang tidak atau belum memahami mereka. Mereka berhak dengan keputusan dan cara berpikirnya sendiri. Dan akulah yang bodoh jika memaksakan kehendak dan cara berpikirku kepada mereka. Dan aku memahami bahwa orang lain ‘sangat jengah’ ketika yang lainnya ‘sok tahu’ dengan hidupnya.
Sekian, Saya Andy Riyan dari Desa Hujan
Katakan sesuatu/ Say something