Melankoli Cinta Segitiga

Aku tak pernah melihat seseorang dengan raut muka yang lebih sedih dari seorang yang kutemui di suatu senja, di salah satu gerbong kereta api, dalam sebuah perjalanan antara Malang-Jogja. Perempuan yang kutemukan duduk menghadap diriku di sisi jendela itu terlihat begitu pucat dengan sinar mata yang redup.

Aku tak ingat di mana perempuan yang berpakaian serba mahal dan beriasan sempurna itu naik, tiba-tiba saja ia sudah berada di hadapanku seakan-akan muncul dari ketiadaan. Sebenarnya aku tak ingat bagaimana pertemuannya, apakah aku sudah lebih dulu berada di gerbong itu ataukah dia, dan aku tak ingat ia masuk ke gerbong ini dengan santai ataukah terburu-buru. Pendek kata, aku tidak menyadari kehadirannya dan tak pernah menyadari keberadaanya sebelumnya.

“Aku selalu merasa gelisah ketika terbangun dari tidurku,” katanya mencurahkan perasaannya kepadaku. “Sebelumnya… maaf! Apakah Anda tidak keberatan jika aku mengeluh dengan kalimat-kalimat yang begitu cengeng?”

“Silakan, lanjutkan!” kataku.

“Terima kasih, Anda telah begitu baik dengan orang yang tidak Anda kenal yang datang dari antah berantah ini.”

“Jika engkau mengharapkan simpatiku, sebaiknya engkau berhenti menyapaku dengan “Anda”. Kau tahu? Aku sangat risih. Telingaku sangat gatal mendengarnya.”

“Maaf.”

Aku mengangkat botol minuman sebagai tanggapan dari permintaan maafnya. Aku rasa itu hal terbaik yang bisa kuberikan untuknya. Mengingat aku tak bisa mengukur kedalaman tulus atau tidaknya kata maaf yang ia ucapkan saat itu. Dan pula, kalau kuingat-ingat aku juga tak tahu bagaimana mulanya aku bisa terlibat dalam obrolan dengan perempuan yang bila dilihat dari sudut pandang lelaki manapun ia cantik ini. Deskripsikan sendiri saja bagaimana rupanya, pendek kata ia sangat cantik. Kukira pada mulanya tempat duduk yang dapat dimuati hingga enam orang ini penuh, dan kini tinggal aku berdua dengan perempuan sedih yang selalu tampak ingin menangis.

“Aku ingin berhenti berharap akan sesuatu. Aku ingin berhenti berekspektasi di luar kemampuanku, di luar bayangan semua yang bisa kulakukan. Aku tak ingin lagi berharap akan sesuatu yang tak pernah aku lakukan.”

Ah melankolis sekali tapi aku tak yakin apa yang harus kukatakan. Kupilih diam, menunggu.

“Entah bagaimana aku masih bisa merasakan nyeri di hati,” ia memalingkan wajahnya dari ku, pandangannya terlempar jauh ke luar jendela gerbong kereta, meninggalkan bayangan slow motion di otakku yang ingin terus kuulang-ulang, lebih-lebih ketika ia menarik rambutnya ke belakang telinga. Aduhai. “Itu sudah lama sekali sudah hampir enam tahun berlalu. Sebuah rasa nyeri yang kemudian menghantuiku hingga ke tahun-tahun berikutnya.”

“Aku sepenuhnya sadar bahwa antara aku, dia dan dirinya tak ada ikatan lagi. Aku tak ada ikatan lagi dengan dia, dan dia juga tidak ada ikatan lagi dengan dirinya. Aku dan dirinya tak saling kenal, hanya sebatas tahu.”

Aku tak pernah mengerti siapa yang sedang orang ini bicarakan. Dan aku tidak peduli. Lagi pula sekarang aku sedang bosan. Jadi kuputuskan untuk mendengar ceritanya.

Dengan tajam ia menatap diriku, tampaknya ia mencari celah-celah pengertianku. Tampaknya ia terkecoh oleh tatapanku. Karena jujur saja aku tak peduli dengan cerita semacam itu. Aku juga tidak peduli dengan kecantikan seorang yang asing, yang beberapa jam lagi aku pasti akan berpisah dengannya dan tak akan pernah bertemu lagi. Aku tak peduli, tetapi ia tetap melanjutkan melankoli cinta segitiganya. Bodo amat.

“Ketika itu, aku telah rela menanggung perih sendirian, menjalani sisa dari perasaan yang memilukan. Aku telah merelakan jika dia hanya akan bahagia bersama dirinya.

Aku berusaha melupakan dia, menjalani hari-hariku, berjalan tertatih menahan perih, hingga datang seseorang yang memberiku sebuah harapan.

Saat aku mulai menapaki jalanku sendiri, sesuatu yang tak pernah kuduga terjadi. Sesuatu yang tak pernah kusangka, antara dia dan dirinya segalanya berjalan cepat, hanya seumur jagung, seumur jagung yang meninggalkan noda. Lukaku yang perih yang tak sekalipun akan pernah terobati oleh waktu menjadi semakin nyeri. Bak luka yang tersayat oleh sembilu, kemudian ditaburkan garam pada luka itu.

Aku kembali menelan pil pahit, berdiri di antara rasa sakit karena dia dan rasa senang dengan seseorang yang tengah datang memberiku harapan. Tampaknya setiap orang memang dibekali kebodohan dalam dirinya, tak terkecuali diriku. Aku justru mengaburkan harapan. Dan harapan itu pergi karena aku memiliki sikap. Aku menjadi pengecut, terlalu angkuh untuk menyakiti semua orang. Dan beberapa saat kemudian akhirnya aku terpaksa kembali menelan pil pahit, menyayat lagi lukaku sendirian.

Aku hanya berdiri untuk menerima semua penghinaan, menanggung luka, terus menemani dia yang semakin membuatku sengsara. Kemudian aku tak tahu bagaimana kejadiannya, segalanya telah hilang. Dan aku menjadi ruang hampa.

Dan sudah dua tahun ini, aku merasa baik-baik saja, dengan seseorang yang ketika aku di hadapannya hanya ingin membuatnya tersenyum. Dan aku melakukannya, membuatnya tersenyum setiap hari. Aku bisa hidup dengan semua luka di masa lalu. Namun, malam ini terjadi, secara tidak sengaja, aku tahu dia bertengkar lagi dengan dirinya. Mempertengkarkan sesuatu yang telah terjadi lama, bertengkar di saat semuanya harus menjadi dewasa menjalani hidup masing-masing. Sekalipun rasa ini tak lagi sama, masih terasa nyeri, ketika mendengarnya… di hadapanku, sambil memohon maaf ku, dia masih menyebut-nyebut nama dirinya.”

Mendadak ia diam.

Aku menunggu. Dan tidak terjadi sesuatu.

Ternyata ceritanya sudah selesai.

Hening total.

Ah aku ingin tidur sekarang, tetapi aku begitu ceroboh. Bukannya aku langsung tidur saja tetapi malah menanyakan sesuatu yang bukanlah menjadi urusanku pada seseorang yang kelak kita semua kenal sebagai Naomi itu, “Sekarang, apa yang terjadi dengan kalian?”

“Itu sudah menjadi masa lalu.”

“Begitu?”

“Dapatkah engkau, Tuan Yang Bijak, beri aku sebuah nasehat?”

Aku tertawa. “Kau meminta sebuah nasehat dariku?”

Dia mengangguk.

“Baiklah! Dengarkan baik-baik nasehatku ini.”

Ia mengangguk lagi.

“Katakanlah padanya, entah bagaimana caramu mengatakannya, begini, ‘Bila suatu hari kamu merindukanku, carilah saja aku di masa lalu, carilah letak di mana aku telah tertinggalkan.’”
“Sekarang untukmu,” kataku lagi. “Berjuanglah. Berjuanglah untuk dirimu sendiri. Sebab akan sangat menyakitkan jika kau berjuang untuk orang lain.

“Tapi hal yang paling terpenting dari nasehatku adalah, ‘Terserah kau mau berjuang untuk siapa, asalkan jangan pernah melakukan pekerjaan yang sia-sia.’”

Melankoli Cinta Segitiga ©Andy Riyan dari Desa Hujan

One Comment Add yours

Katakan sesuatu/ Say something

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.