Mengapa menulis dibanding media ekspresi lainnya?
Itu adalah pertanyaan yang cukup menarik yang diajukan oleh seorang komentator pada postingan yang berjudul Tanpa Sekat Tanpa Pembatas di jejakandi ini; Nita. Kurasa ini adalah komentar pertamanya di sini. Silakan Amigos bisa mampir di blognya Nita, di sini https://jnynita.com/
Sebagaimana telah kujawab di sana, bahwa menulis adalah media ekspresi, yang bagiku, paling tidak ribet. Menulis bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, dan dengan media apa saja; dari yang paling sederhana; cuma butuh pulpen dan kertas, hingga yang paling canggih menggunakan smartphone dan komputer.
Selain itu, media ekspresi menulis juga tidak memakan banyak ruang atau memori. Apalagi aku lebih suka menulis dengan format .txt di Scrivener dan Notepad. Jarang sekali, aku menulis dengan format doc/docx atau yang lebih kaya, misal rtf. Jadi file yang kusimpan relatif sangat kecil, sekitar 70 KB. Sangat berbeda jika media ekspresi itu ditumpahkan dalam bentuk video dan Audio. Video selama 28 menit saja sudah menghabiskan sekitar 2 GB. Sudah begitu ribet pula ngolah-nya.
Salah satu jobdesk pekerjaanku memang bikin video. Aku membuatnya dari potongan yang paling mendasar dari shooting sampai ngedit dan juga olah audio. Jobdesk yang, jika kupikir-pikir lebih mendalam, harusnya membuatku pantas dibayar jauh lebih mahal daripada bayaran yang kuterima saat ini. Namun karena, lingkungan kerjaku tidak memahami jobdesk seputar olah video dan audio ini, dan memang bukan orang-orang yang profesional di bidang ini, membuat seolah-olah pekerjaan ini adalah pekerjaan yang tidak begitu penting dan tidak terlalu sulit. Sementara, aku, dalam bidang apapun entah mengapa selalu berkeinginan memberikan yang terbaik sampai pada limit kemampuanku. Ah sudahlah… daripada makan gaji buta.
Dan karena itulah aku justru lebih menyukai media ekspresi dengan menulis. Tidak ribet. Terutama karena aku lebih suka menulis untuk diri sendiri. Lebih-lebih, menulis bagiku ada dua ruang; privat dan publik. Tidak semua tulisanku aku persembahkan untuk publik. Karena tujuanku untuk menulis memang tidak selalu untuk itu. Menulis telah menjadi jati diriku. Telah menjadi semacam cure, obat bagi diriku sendiri. Ketika lelah, sumpek, bingung, frustasi, gembira, senang, bahagia, bahkan ketika memiliki masalah yang sangat sulit dipecahkan… aku mengatasinya dengan menulis.
Dengan menulis, aku bisa menjadi lebih memahami, sebenarnya apa sih yang mengganggu diriku sendiri? Dan dengan menulis aku berdialog dengan diriku sendiri, dan ternyata, semua yang kualami sangat sederhana. Hanya aku saja yang membuatnya menjadi rumit dan menyusahkan. Dengan menulis, aku mengurai semua masalahku pelan-pelan. Mencatat satu demi satu apa yang harus aku lakukan, sedemikian sehingga aku bisa terus fokus dan tahu prioritas terpenting dalam hidupku.
Dan pula, terkadang kita ingin kembali menengok apa yang pernah kita tuangkan di masa-masa yang lalu. Ekspresi dalam bentuk tulisan mudah dibuka kembali. Berbeda dengan audio dan video, sudah memorinya besar, masih ribet dengan playernya juga. Kira-kira seperti itu.
Dan kadang-kadang ketika aku membuka kembali tulisan lama, aku takjub sendiri dengan kosa kata atau kalimat-kalimat yang pernah kurangkai. Aku kadang tak habis pikir, ilham mana yang membuatku mampu menuliskan tulisan-tulisan yang demikian itu.
Terkadang pula, kemudian aku terdorong untuk menulis ulang, semua yang telah aku tuliskan itu. Seperti tulisan yang berjudul Naomi, Oh Naomi, sebenarnya cuma satu kalimat pendek yang pernah aku tulis, sekarang bisa kukembangkan menjadi beberapa kalimat. Meskipun tetap pendek juga. Begitu pula tulisan yang kuberi judul Melankoli Cinta Segitiga, pada mulanya ia cuma kepingan paragraf. Aku susun lagi menjadi lebih panjang. Terlalu panjang malah, sampai aku nggak ngerti itu arahnya kemana. Gak heran pula, tulisan itu feedbacknya sangat sedikit.
Udah panjang ini… tulisan panjang di zaman ini sudah enggak enak aku cukupkan sampai di sini saja. Sekian, saya Andy Riyan dari Desa Hujan.
Katakan sesuatu/ Say something