Catatan Harian Andy Riyan, Desa Hujan, 12 Juni 2021
Menulis bagiku selain masuk dalam kategori ranah kerja intelektual, juga bisa dimasukkan dalam ranah kerja psikologis. Menulis seringkali telah membuktikan begitu ampuh untuk menjadi sebuah start, awalan, dari berbagai proyek dan renungan.
Senyum mengembang, pagi ini, seiring dengan mentari yang menyembul di atas cakrawala dari balik bukit-bukit yang berkabut. Senyum yang sama mengantarku untuk memasuki sebuah ruang dalam renungan. Renungan kali ini melibatkan sebuah catatan harian yang aku tulis beberapa minggu yang lalu.
Tulisan yang sekarang ini merupakan tulisan yang digali dari sebuah tajuk mengikat makna yang kulakukan sekitar sepuluh menit setelah membaca sebuah buku yang ditulis oleh Alm. Hernowo Hasim. Tak bosan-bosannya aku menekuri buku-buku beliau. Bagiku buku-buku beliau tak henti-hentinya memberikan sebuah dimensi lain setiap kali aku membacanya. Terutama karena buku-bukunya sangat enak dibaca, renyah dan aku bilang sangat bergizi. Sehingga aku seperti terus dapat mengambil sesuatu yang baru darinya, meskipun telah berulang kali membacanya. Paling tidak, ia selalu dapat menyegarkan kembali ingatanku akan makna-makna yang sudah pernah kukunyah di dalam kepalaku.
Seperti yang seringkali kulakukan, aku menyempatkan diri untuk membaca sebelum menuliskan sesuatu. Pada suatu kesempatan ketika membaca aku terkejut tatkala menemukan sebuah kalimat yang berisi tentang obrolan antara Pak Hernowo dengan salah seorang teman, atau pembaca di akun facebooknya.

Di buku itu Pak Hernowo bercerita bahwa seorang teman telah menulis sebuah pesan kepadanya. Pada pesan itu, temannya bercerita bahwa ia merasa tengah berlimpahan begitu banyak ide sampai-sampai ia kebingungan karena ia bahkan tidak bisa menuliskannya. Ia mengeluhkan kepada Pak Hernowo, mengapa dengan begitu banyaknya ide, justru kesulitan untuk menulis. Menarik bukan? Seperti sebuah cerita yang seringkali kita alami, kan?
Tanggapan Pak Hernowo malahan lebih menarik. Aku bahkan sempat terkejut. Pak Hernowo menjawab sebenarnya yang dia kira sebagai ide sebetulnya hanyalah ilusi. Ia berhalusinasi, merasa memiliki sebuah ide, padahal yang sebenarnya ia sangka sebagai ide itu tidak pernah ada. Sebenarnya idenya itu tidak nyata karena tidak dituliskan. Sebenarnya ide itu tidak ada karena tidak dapat dieksekusi. Sehingga dia tidak tahu mau dari mana menuliskannya. Jika ide itu memang ada dan nyata, sekalipun masih abstrak harusnya mampu ditorehkan minimal dalam sebuah lembaran kertas. Sebuah gambaran atau kilasan ide baru disebut ide kalau sudah tertangkap dan dapat dibaca secara visual.
Obrolan itu seperti menghentak dan merobek-robek ketenanganku. Aku selama ini membanggakan diriku sendiri bahwa di dalam otakku terbesit jutaan dan bahkan tidak terbatas ide hanya saja aku selama ini hanya sedang merasa malas untuk menumpahkannya di dalam sebuah buku dan menuliskannya menjadi karya. Ternyata itu adalah omong kosong yang aku percayai sendiri. Sebenarnya ide itu bahkan tidak nyata pernah ada di dalam pikiran dan kepalaku. Aku hanya berhalusinasi bahwa ide itu ada.
Baiklah obrolan Pak Hernowo ini menjadi semacam cambuk bagiku, bahwa aku ternyata sudah terlalu sombong dengan mengatakan aku memiliki segudang ide dalam kepalaku. Obrolan Pak Hernowo dengan teman media sosialnya itu hadir untuk mengingatkan diriku supaya aku tetap menjadi penulis yang rendah hati, jika masih ingin bercita-cita menjadi penulis, tetap membumi dan terus belajar lagi lagi dan lagi. Jangan seperti penulis yang kondang itu, merasa dia adalah penulis terlaris dan penggemarnya banyak, ia bisa seenaknya mempermainkan pembacanya sebagai komoditas. Hemmm… sudah keblinger juga penulis macam ini, mempermainkan pembaca-pembaca setianya sebagai ladang bisnis.
Jika suatu hari aku menjadi penulis, aku mesti mengingat momen ini. Jikapun tidak menjadi penulis, catatan ini pun tetaplah layak untuk dikenangkan, ditinggalkan di sini sebagai jejak lalu suatu hari ku tengok lagi untuk diambil sebagai pelajaran.
Menulis seperti ini dan membagi kembali di blog menjadi semacam obat. Selain itu, menulis seperti ini juga bisa menjadi semacam review dan evaluasi dari sekian banyaknya catatan harian yang masih belum kubaca lagi. Dan catatan harian ini ku pilih untuk di-edit dan publish di blog juga karena kupikir ini adalah saat yang tepat untuk kembali belajar sesuatu mengenai ide.
Aku akan bisa memproduksi apa pun jika memang aku banyak membaca dan terus berlatih lagi menulis setiap harinya. Aku menulis jurnal dan menulis catatan harian adalah untuk melatih otak kanan dan kiriku sekaligus guna memproduksi ide! Ingat berlatih guna untuk memproduksi ide! Dan selama aku belum bisa mengeluarkan sebuah gagasan yang dapat dibaca dan dapat dipahami berarti aku belum pernah mengeksekusi atau pun memproduksi ide.
Jadi begitulah yang diharapkan dengan berlatih menulis dan terus menempuh jalan membaca adalah agar aku bisa memproduksi ide kemudian menampilkannya dan menyajikannya menjadi sebuah karya. Tetapi yang terpenting dari itu, menulis dan membaca selalu menjadi jalan terbaikku untuk mempraktikkan mindfulness. Dan mengikat makna kali ini menjadi penting setelah sekian lama aku tidak dapat menampilkan diriku yang chaos dan penuh obrolan dalam diriku sendiri. Betapa aku rindu untuk dapat bersua dengan blog dan buku harianku. Bersua dengan segala ide yang harus aku eksekusi.
Sekian, saya Andy Riyan dari Desa Hujan. Sampai jumpa
mantaap kak postnya semangataat terus upload postny aya kak Beli geotextile woven
LikeLike