Daily writing prompt
How do you unwind after a demanding day?
Masih Hujan Dengan Segala Rasanya

I came to arrive and be unity with the fall. Under those pouring rain I infilterate in theme of music which singing a song of the world of old. I die in longing for the love I hold and none left but skin and bones. —Andyriyan—

Hujan masih merinai-rinai di hari terakhir bulan September itu. Di desa hujan, Duri, aku tertahan dan terjebak dalam kekosongan. Pada setiap kekosongan—seperti halnya pada sebuah benda yang berongga—ada sebuah selimut yang menyelubunginya. Dan aku tertahan pada kekosongan di ruang-ruang hampa itu tanpa sekalipun batas pikiranku pernah mampu menembus selimut-selimut di suatu tempat di alam semesta.

Aku jelas tidak akan mungkin memahami keseluruhan hidup ini, tapi aku adalah lelaki yang menjadi semakin baik setiap harinya. Aku melewatkan beberapa kesempatan, memang. Dan kesempatan tidak terulang untuk yang kedua kalinya.Tapi aku bisa membuat kesempatan datang berkali-kali. Sebab, aku tumbuh setiap harinya untuk menyelami tidak hanya apa yang ada melainkan juga makna padanya.

I arrive with butterflies. They sing me a song. The changed worlds coming. I sleep in peace between the stars. –Andyriyan–

img_1912
Masih hujan dengan segala rasanya

Kini; Duniaku yang begitu lembut, sungguh aku sangat menyukainya. Berbaring di sana seolah hanya menghabiskan waktu yang tersisa sebelum usia senja datang menyapa. Kabut-kabut kelabu dengan dingin yang menyatu pada butiran hujan, melingkar dan menggantung di awang-awang tanpa benang di setiap ku memandang.

Duniaku yang membentang tidak hanya terdefinisi pada rentang terbit matahari hingga senja datang melainkan, seluruh waktu yang menjejak tepat dalam imajinasiku. Tidak ada langkah yang terlambat atau terlalu awal. Duniaku adalah putaran dalam lingkaran, sudut tak berbatas, dan jari-jari-nya dapat direntangkan. Semua mimpi yang sejuk dalam sepi dan semua angan yang melampaui kenangan ada dalam lapisan kenyataan dan melampaui senandung tentang hujan. Semua pilu di dunia itu adalah seni kehidupan, dan setiap seni kehidupan memiliki maknanya. Kau harus tahu Amigos!. Berkawan dengan bintang adalah kemesraan paling menjanjikan dan cinta adalah kenyataan paling memilukan. Seperti hujan yang sama namun memiliki rasa yang berbeda, atau seperti rasa yang sama ketika butiran-butiran itu jatuh untuk mencumbu bumi dalam keadaan yang sama sekali berbeda.

Berikut akan kuceritakan padamu, Amigos. Tentang kenyataan yang menceritakan lagu-lagu dari dunia purba, yang aku hanyut di dalamnya, mati karena kerinduan oleh kenyataan cinta yang telah ada miliaran tahun yang lalu, iya se-purba itu.

Dulu, telah aku tuliskan kata-kata ketika segar masih terasa karena baru saja tersiram butiran embun serupa mutiara. Rasa yang sama yang kutuliskan ke dalam jiwa yang semuanya masih terasa seperti hari kemarin, masih terasa segar karena ingatanku padanya selalu melintasi setiap waktu.

“Ah apa kata semalam…” desahku waktu itu.

Sama seperti hari yang sudah-sudah, aku selalu menanti kabarnya dari deretan kata-kata yang tertulis untuk mengisi lubang-lubang di alam semesta.

“Brengsek..!!”

“Semuanya menjadi benar-benar brengsek…! Apa yang terjadi padaku hingga tak ingin melewatkan hal-hal terkecil tentangmu?”

Aku benar-benar dibuat seolah-olah bermain dengan perasaan manusia. Aku tersenyum, tertawa, sedih dan kecewa. Mengutuki diri sendiri, menyumpah-nyumpah dan memaki. Semuanya tidak lebih hanya karena kata-kata yang tak kupahami maksudnya. Sudah bukan menjadi tanda tanya lagi, bahwa benar aku mencintai dirinya, tapi rasa hati-hati itu yang sesekali menyela, menginterupsiku agar aku sejenak untuk benar-benar mengerti perasaannya. Dan itu adalah kenyataan paling memilukan, yang aku sama sekali tak mampu mengendalikannya.

Pelan-pelan ku rajut kata-kata, pelan-pelan kucoba dekati dirinya, sentuh hatinya dengan rasa sayang. Namun, semakin kucoba mendalami kisahnya, semakin ku rasakan bahwa air mata yang akan jatuh nanti adalah air mata yang tak sanggup untuk melukai dirinya. Semakin jauh aku melayangkan pikiran, semakin kuat kurasa getaran keinginannya, tapi sesekali aku bertanya-tanya; sebenarnya apa yang sesungguhnya kamu inginkan?

Bila puisi adalah cermin dari rasaku. Maka tak ada dusta ataupun kebenaran padaku yang akan tersembunyi padamu. Sekalipun tak lagi bernapaskan cinta. Puisiku yang mati dari rasa yang terhenti, masih memantul di kedalaman hati. Lelap tidurmu akan kujaga. Sekalipun bila langkahmu yang senyap memaksa tuk berhenti berharap. Karena ada tatap yang tak kuanggap; ganjil yang kan menggenap.

Sebenarnya aku sudah tak sanggup bermain dadu untuk menguji keyakinanku. Barangkali rasa sayang yang sudah kian tumbuh subur di dalam diriku, menjadikanku tak berhasrat lagi untuk memenuhi egoku. Aku tersenyum, aku tertawa dan aku bersedih melihatmu, menantimu dan untuk berjumpa dengan mu. Barangkali ini adalah perasaan rindu, ya… rindu yang serindu-rindunya. Seperti kata senja yang rindukan purnama. —Andyriyan, 11 november 2013—

masih-hujan-dengan-segala-rasanya2
Be unity with the fall

Pintaku pun masih berderap dalam selimut-selimut hangat. Seperti ketika aku datang dan meyatu dengan tetesan yang jatuh dari langit. Di bawah rintik-rintik resah dan sahdu itu, aku meresap kedalam musik dan aku mati dalam kerinduan menjaga cinta dan tak ada apapun yang tersisa kecuali luka.

Cinta, biarkanlah aku kembali padamu. Selimut hangat, malam ini boleh menggantikanmu. Tapi esok nanti, tak boleh lagi kau menghempaskan aku. Tak ada pujaan yang perih, Kekasih. Meski lukaku lebih karenamu. Memang harus begitu, Kekasih. Aku yang membalut lukamu.

Tetesan pertama, hujan deras di pipiku, adalah bahagia yang menyentuh kalbu. Bahwa pernah satu kali aku sanggup kurangi lukamu. Sekarang katakan padaku, Kekasih. Bahwa engkau menyambutku. Atau aku hanya melintas di hadapanmu. Sebab aku tak tahu, kau ada untukku. Atau terserah engkau saja, Kekasih. Malam ini aku cukup dengan hangat selimut biru. Sebab, segala hujan selalu ada rasanya dan selimut hangat ini memelukku begitu mesra.

–Masih Hujan Dengan Segala Rasanya (C) Andyriyan–


Discover more from Jejakandi

Subscribe to get the latest posts to your email.

One response to “Masih Hujan Dengan Segala Rasanya”

  1. Totoraharjo Avatar

    ‘bila puisi adalah cermin dari rasaku,’

    jleb.itu.

    Like

Katakan sesuatu/ Say something

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Halo

Saya Andy Riyan

Selamat datang di dunia saya yang penuh dengan kata-kata dan inspirasi dari segelas kopi yang mengalir lincir dalam benak dan jiwa. Saya adalah seorang pengembara lembaran-lembaran makna, menelusuri dunia melalui kisah-kisah yang saya temui dalam buku-buku yang saya baca.

Mengindentifikasi diri sebagai pecinta kata-kata dan pengagum gagasan, saya selalu mencari inspirasi dalam setiap halaman yang saya telusuri. Dari filsafat yang dalam hingga petualangan yang mendebarkan, setiap cerita membawa saya lebih dekat pada pemahaman yang lebih dalam tentang dunia dan diri saya sendiri.

Saat tidak sibuk, sebagian besar waktu saya habiskan untuk menyusun tulisan-tulisan saya. Kamu mungkin menemukan saya duduk di sudut kedai kopi favorit saya, memperhatikan pola-pola kehidupan sambil menyeruput secangkir kopi yang harum. Kopi bagi saya bukan hanya minuman, tetapi juga teman setia dalam perjalanan melintasi halaman-halaman buku dan dunia.

“Menulis adalah obat bagi jiwa yang tersesat,” adalah moto yang membimbing langkah-langkah saya dalam mengekspresikan pemikiran dan perasaan saya melalui tulisan.

Di sini, di “Desa Hujan” – tempat di mana kata-kata turun seperti hujan dan jiwa yang berseri-seri menyambutnya – saya dengan senang hati menyapa kalian, Amigos. Mari kita menjelajahi alam semesta kata-kata dan membangun jaringan yang kokoh antara pikiran dan hati kita.

Salam literasi dan selamat menelusuri halaman-halaman kehidupan!

Let’s connect

Discover more from Jejakandi

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading