Jalan-jalan telah begitu sepi. Tempat-tempat yang dulu sering kudatangi bagaikan telah menjadi kota mati. Blok-blok toko tempat menjajakan berbagai onderdil bekas telah kosong. Pintu-pintunya telah bolong. Di banyak tempat hanya tinggal kusen-kusennya saja. Dinding-dinding penuh dengan bekas tempelan-tempelan kertas yang terkelupas. Tembok-temboknya telah memucat, warnanya memudar termakan usia; rapuh oleh panas matahari dan hujan. Atap-atap seng berkarat menguarkan aroma asam yang kering bercampur bau besi yang membuat lubang hidung gatal-gatal. Tak jarang tertangkap bau pesing yang menguap dari toko-toko mati itu.
Siang hari sebelum mengunjungi tempat itu, aku kepikiran untuk menanyakan kabar kepada semua teman, saudara dan kenalan. “Halo gaes, bagaimana kabar kalian?” kataku pada mereka. Semua teman, saudara, kenalan yang masih jomblo, yang sudah menikah, baik yang sudah punya anak satu ataupun sudah dua, baik yang sudah lamaran atau yang sebentar lagi walimahan, semuanya kebagian tanya. Semua teman, saudara, kenalan yang sangat sibuk, yang sibuk, yang lumayan sibuk, yang jobless, yang santai, semuanya tak luput kutanyai. Semua teman, saudara, kenalan yang sedih, yang bahagia, yang merana, yang merindu, semua tak tertinggal satu orang pun. Semua teman, saudara, kenalan yang masih sehat, yang sedang sakit, yang masih hidup dan yang sudah… mati… semuanya kutanyakan kabarnya. Perlahan satu persatu mereka menjawab. Dan balasannya relatif sama, baik. Kalau tidak begitu pasti alhamdulillah baik.
“Kalau kamu, bagaimana kabarnya?” tanya mereka.
Aku tak menjawabnya. Dan inilah alasannya mengapa sore ini aku mengunjungi kenangan yang telah terlupakan ini.
Jalan-jalan paving di tengah blok-blok toko itu telah ditumbuhi rumput-rumput liar yang kaku dan tak bisa dirumput bagi makanan ternak. Di ujung toko-toko onderdil yang berhadap-hadapan itu seharusnya ada warung bakso dan mie ayam bersebrangan dengan Barbershop Mas Joko. Keduanya kini telah tiada. Tersisa hanya bekas bangku-bangku hitam yang tebal oleh lumut dan jamur.
Terakhir kali yang kuingat tentang Mas Joko usianya sekitar 50 tahun. Meskipun sudah tua ia tetap saja muda, karena namanya Joko. Begitu kelakar kami ketika mampir ke tempatnya untuk sekedar memotong poni atau rambut yang tumbuh menutupi kuping.
Aku terus melangkah masuk ke dalam labirin emosi. Lebih jauh lagi hingga ujung blok yang seharusnya sebelum belokan itu, ujung dari blok toko ini, balai-balai tempat duduk bercengkrama dalam teduhan rerimbun pohon nangka ada di sana. Namun balai-balai itu telah rubuh. Bangku-bangku panjangnya telah menjadi bangkai makanan rayap yang telah putus asa.
Sampai se-sore itu aku pun belum membalas pertanyaan-balik mereka. Tapak-tapak kaki tak berhenti, melangkah kedalam tahun-tahun gelap yang terlupakan. Sore yang dingin dan berkabut menyelimuti keruhnya pikiran. Pandangan pun jatuh pada bekas lapangan voli dan basket. Lapangan yang terabaikan sedih dan tertinggalkan. Lantai-lantainya rusak terburai. Pasir-pasir pucat berserakan di pinggiran lubang-lubang di seluruh lapangan. Rumput dan lumut tumbuh menjalari dinding batasnya yang sunyi dan dingin. Di dasar-dasarnya penuh dengan sampah-sampah plastik berlumpur.
Aku terus melangkah ke arah terbenamnya matahari. Bola emas dari Hidrogen itu masih tak juga ku temui di sana. Seharusnya ia bersinar di atas lapangan sepakbola yang berbatasan dengan sawah-sawah petani. Lapangan tempat segala aneka kesenangan menyelimuti masa-masa remaja, tak kalah sedihnya dengan blok-blok toko dan lapangan basket dan voli itu. Rumput-rumput liar pucat dan tua sudah setinggi pinggang saja. Tengah-tengah lapangan di mana dulu aku beraksi menjadi gelandang nomor 6 itu juga telah berubah menjadi genangan air hujan.
Aku terus melangkah menyusuri tepian lapangan yang telah berubah menjadi saluran air yang dangkal dan masih juga tak kubalas pertanyaan semua teman, saudara dan kenalan perihal kabarku.
Andy Riyan © Desember 2019
Katakan sesuatu/ Say something