Daily writing prompt
How do you unwind after a demanding day?

Aneh

“Sebuah anomali yang dahsyat telah terjadi di era digital ini. Padahal era digital baru saja dimulai beberapa tahun belakangan ini, namun efek global yang terjadi begitu masif, seakan-akan meruntuhkan kebiasaan atau fenomena-fenomena lama yang sudah mengakar budaya. Bagi aku yang hidup di persimpangan zaman, antara zaman sebelum era digital dan zaman peralihannya, ketika zaman digital dimulai, aku merasakan sebuah fenomena yang sungguh aneh. Aku tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Sungguh aneh dan sangat membingungkan bagaimana anomali ini bisa terjadi pada orang-orang yang waras. Aku tidak mengerti bagaimana hal ini terjadi; jutaan orang yang waras dikendalikan hanya oleh segelintir saja orang-orang yang gila.”

Tiga hari berturut-turut aku selalu datang terlambat ke tempat kerja gara-gara terlalu asik menulis jurnal pagi. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengosongkan jurnal pagi di hari Kamis 11 Juni kemarin. Pagi itu aku masih menulis seperti biasa untuk menjaga ritme kesadaran, apa yang aku pikirkan ketika pagi memecah itu. Namun aku tidak sempat memaku kesadaran menjadi sebuah postingan yang bisa diupadate di jurnal paginya jejakandi. Sekadar ngasih tahu, jurnal pagi tempo hari, yang hari Rabu itu, aku bahkan terpaksa mengedit dan menaikkan ke blog di kantor. Rasanya pahit, Rek. Kalau enggak mengupdate jurnal pagi seperti ada yang kurang, tapi kalau harus menulis, jadinya sering terlambat padahal enggak ada yang membayarku untuk jurnal pagi. Duh!

Apakah ada perbedaanya antara sekadar menulis jurnal pagi saja dengan menulis jurnal pagi dan mengupdate menjadi sebuah postingan? Sejujurnya ada, ketika aku cukup menulis saja, biasanya topiknya akan melenceng dan tidak konsisten, namun jika sampai terbit di jejakandi, biasanya walau topiknya tidak selalu konsisten, masih ada benang merahnya. Jadi pas kepikiran untuk memindah jam terbit, aku merasakan suasana yang berbeda. Maksudanya ketika aku menulis sebuah tulisan untuk kategori jurnal pagi di sore atau siang harinya, rasanya tidak sama dan tidak ada gregetnya lagi. Jadi aku kudu muter otak bagaimana cara tetep bisa menuliskan jurnal pagi dan menyesuaikan diri dengan aktivitasku ini. Ah benar-benar gundah. Bagaimana kedisiplinan ini yang sudah kubangun dengan bersusah payah mesti runtuh juga.

Jadi kalau nanti akan pindah jam tayang menjadi jurnal siang ataupun jurnal malam, suasananya mesti berbeda. Dan setelah menulis rangkaian jurnal pagi ini, sekarang menjadi terlalu sulit membuat tema baru untuk mengisi jurnal lain. Adaptasi lagi, Deh!

Kembali kepada sebuah anomali yang gagal kupahami. Ada jutaan subyek yang mengisi dunia digital, jutaan pengguna perangkat elektronik seperti smartphone dan komputer. Ada jutaan orang yang menjadi subyek penggunaan teknologi internet, tetapi mengapa jutaan orang ini seolah terancam hanya oleh penjahat siber yang jumlahnya tidak seberapa? Kalau kita hidup di dunia yang waras, ketika kejahatan siber yang dilakukan hanya oleh segelintir orang ini terjadi, dari pada kita sibuk berurusan dengan mereka, melakukan aneka perlawanan yang tidak bisa kita menangkan, kalau kita waras mestinya kita bersama-sama berhenti melakukan apa yang mereka minta, berhenti menggunakan alat-alat ini. Praktis kecakapan dan keahlian mereka menjadi tidak berguna, dan mereka sendiri yang akan menyesuaikan dengan kehidupan komunal yang lebih banyak. Atau skenario lain yang mungkin terjadi adalah perusahaan-perusahaan teknologi akan terancam ambruk, dan merekalah yang akan menawarkan jaminan dan perlindungan kepada kita orang-orang yang waras ini, merekalah yang akan bertempur habis-habisan melawan para penjahat siber yang gila itu. Tetapi itu tidak terjadi, anomali ini sungguh aneh tapi nyata, jutaan orang yang waras menyerah dan tunduk pada segelintir orang gila.

Begitu juga dengan kejahatan teror yang mengancam beberapa orang yang akan melakukan suatu diskusi publik, yang bahkan kegiatannya telah dijamin oleh undang-undang. Aku sampai tidak mengerti segelintir orang ini bisa meruntuhkan keberanian ratusan orang. Teroris-teroris ini dengan segala bentuknya adalah seorang pengecut. Ia menyembunyikan diri di balik topeng. Dan hanya berani menyerang dengan taktik gerilya yang brutal dan sama sekali tak ada sikap gentleman yang ada pada diri mereka.

Karena negara ini katanya sebuah negara hukum, maka sudah tepat apa yang dilakukan oleh mereka yang diserang oleh gerombolan teroris ini, yaitu melaporkan kejadian kepada pihak kepolisian agar segera ditindak. Kepolisan memiliki kewajibannya untuk memberikan kedamaian dan rasa aman bagi masyarakat tanpa kecuali. Polisi harus memberikan keamanan pada siapapun tanpa pandang bulu. Namun aku pun tidak mengerti mengapa seolah-olah polisi pun tunduk kepada penjahat-penjahat ini, kejahatan terorisme masih berulang kali terjadi dan masih akan terjadi lagi. Bahkan seakan-akan menjadi kepanjangan tangan dari sebuah tindakan represi.

Lalu apa yang mesti dilakukan olah jutaan orang yang mengaku merdeka, adalah kita bersama-sama menumbuhkan kesadaran bersama bahwa segala hal yang mengancam itu tidak ada artinya. Kita mesti menumbuhkan kesadaran bersama bahwa jutaan orang merdeka itu lebih kuat dari segelintir orang-orang gila. Kita mesti menumbuhkan kesadaran bahwa kita tidak perlu memberikan apa yang mereka minta. Kita tidak perlu melawan mereka, dan jangan sekali-kali terlibat dalam permainan mereka dan memenuhi permintaan mereka. Maka semua yang menjadi tujuan mereka akan runtuh dengan sendirinya.

Argumen ini mungkin hanyalah sebuah ilusi. Boleh dong, aku hidup dengan ilusiku sendiri. Pernah pada suatu masa aku pernah berimajinasi, bahwa dewasa ini terlalu banyak orang yang menuntut terhadap orang lain, hanya karena mereka merasa mempunyai hak oleh karena keterlibatan mereka di dalamnya. Mereka merasa mempunyai hak mendapatkan penghidupan yang layak, pendidikan yang berkualitas, hak-hak kerja yang terpenuhi dan pelayanan msayarakat yang memadahi. Ketika kita jatuh pada perasaan bahwa kita memiliki hak pada semua itu, dan kemudian menuntut hak-hak itu, kita telah mengikat diri kita sendiri pada masalah itu. Kita menjadi orang yang tidak merdeka. Perlawanan paling sederhana mestinya adalah tidak memberikan apa yang mereka minta ketika kesepakatan yang menyenangkan dua belah pihak tidak terjadi.

Kemerdekaan kita sepenuhnya tergantung pada diri sendiri. Kalau kita memang memiliki pilihan dan telah menjatuhkannya pada mereka, maka berhentilah mengeluh. Jika ingin merdeka maka lepaskanlah ketergantungan itu.


Discover more from Jejakandi

Subscribe to get the latest posts to your email.

7 responses to “Jurnal Pagi: Aneh! Jutaan Orang Waras Tunduk Pada Segelintir Orang Gila”

  1. Pulang Membawa Buah Tangan – Ikatan Kata Avatar

    […] Jejak Andi// Jurnal Pagi: Aneh! Jutaan Orang Waras Tunduk Pada Segelintir Orang Gila// “Halo Ka An! Aku tidak ingin berkomentar banyak. Seperti biasa, tulisanmu masih tajam dan […]

    Like

  2. far away Avatar
    far away

    Gimana kalau judulnya nggak usah menunjukkan keterangan waktu pagi/siang/malam? *lah ngatur*

    Like

    1. jejakandi Avatar

      heuheu bisa dipertimbangkan, lebih fleksibel kayaknya.

      Like

  3. Rakha Avatar

    Mas, saya akan selalu menunggu jurnal pagi dari Sampean.

    Like

    1. jejakandi Avatar

      Terima kasih, insyaallah nanti bisa diupdate jurnal paginya. Mungkin judulnya bukan jurnal pagi lagi (bisa pindah jam tayang)

      Like

  4. Homo Homini Socius – Ikatan Kata Avatar

    […] Jurnal Pagi : Aneh, Jutaan Orang Waras Tunduk pada Segelintir Orang Gila / jejakandi […]

    Like

Katakan sesuatu/ Say something

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Halo

Saya Andy Riyan

Selamat datang di dunia saya yang penuh dengan kata-kata dan inspirasi dari segelas kopi yang mengalir lincir dalam benak dan jiwa. Saya adalah seorang pengembara lembaran-lembaran makna, menelusuri dunia melalui kisah-kisah yang saya temui dalam buku-buku yang saya baca.

Mengindentifikasi diri sebagai pecinta kata-kata dan pengagum gagasan, saya selalu mencari inspirasi dalam setiap halaman yang saya telusuri. Dari filsafat yang dalam hingga petualangan yang mendebarkan, setiap cerita membawa saya lebih dekat pada pemahaman yang lebih dalam tentang dunia dan diri saya sendiri.

Saat tidak sibuk, sebagian besar waktu saya habiskan untuk menyusun tulisan-tulisan saya. Kamu mungkin menemukan saya duduk di sudut kedai kopi favorit saya, memperhatikan pola-pola kehidupan sambil menyeruput secangkir kopi yang harum. Kopi bagi saya bukan hanya minuman, tetapi juga teman setia dalam perjalanan melintasi halaman-halaman buku dan dunia.

“Menulis adalah obat bagi jiwa yang tersesat,” adalah moto yang membimbing langkah-langkah saya dalam mengekspresikan pemikiran dan perasaan saya melalui tulisan.

Di sini, di “Desa Hujan” – tempat di mana kata-kata turun seperti hujan dan jiwa yang berseri-seri menyambutnya – saya dengan senang hati menyapa kalian, Amigos. Mari kita menjelajahi alam semesta kata-kata dan membangun jaringan yang kokoh antara pikiran dan hati kita.

Salam literasi dan selamat menelusuri halaman-halaman kehidupan!

Let’s connect

Discover more from Jejakandi

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading