R 306
“Baiklah. Sebelum perkuliahan dimulai… terlebih dulu mari kita diskusikan kontrak belajar…” ujar seorang pria dewasa berjenggot hitam panjang. Suaranya berat dan nge-bass namun jelas dibuat-buat. Sorot matanya nampak sangar dan mengerikan. Tampaknya ia sedang mencoba mencuri perhatian kami haya dari balik meja mengajarnya yang terbuat dari kayu Mahoni dan berwarna coklat mengkilap.
“Sssst… liat tuh cantik banget…”Bisik seseorang yang duduk di sebelah kiriku pada laki-laki yang duduk di depanku dan mengabaikan pak dosen.
Ia menarik-narik kepalanya memberi isyarat kearah perempuan yang ia maksudkan. Mendadak pak dosen menatap kami dengan raut muka tak senang, ia tersenyum sinis dan tak berhenti pada sesi pembukaan perkuliahannya. Namun orang yang hari pertama telah mengobarkan perang dengan pak dosen dan telah menempatkan aku menjadi musuh tak terdeklarasi pak dosen itu malah cuek saja. Aku tersenyum getir terseret dalam situasi itu. Aku tak menaruh simpati pada laki nakal itu, tetapi aku juga tak bisa mengabaikan kata cantik yang terucap dari bibirnya. Aku pun ikut tertarik dan seolah menegaskan posisi menjadi orang yang mengabaikan perhatian dosen yang sok berwibawa itu.
Sekitar 5 meter jauhnya dari tempatku duduk, nampak seorang perempuan yang sebelumnya pernah kujumpai di bengkel kemarin. Ia duduk dengan sangat anggun; tangannya disilangkan diatas tas yang melintang diatas meja sekaligus kursi. Pakaiannya berwarna putih bermotif bunga dahlia dengan celana panjang gelap membungkus kakinya yang jenjang. Jilbab merah sewarna dengan motif bajunya menudungi kepala tempat wajah putih nan bersih itu bernaung. Dahinya lebar memancarkan cahaya dan bulu alisnya nampak jelas melengkung diatas matanya yang jernih dan berbulu mata lentik. Hidung mancungnya bertengger di atas bibirnya yang merah biru dan pipinya yang merona bersemu kemerahan. Gadis bermuka lonjong itu sempurna membuatku berdecak kagum.
‘Masya Allah cantiknya…’
Gara-gara perang telah berkobar, di sepanjang kegiatan belajar-mengajar itu aku menjadi lebih banyak merasa bosan daripada merasa senang. Padahal ini hari pertama masuk kuliah.
“Se-membosankan kah ini yang namanya kuliah?”
Hanya perempuan di kejauhan itu yang membuatku tak boleh mengutuki hari itu. Sambil sesekali menatap kepapan tulis yang berisi coretan-coretan pak dosen, aku terus mencuri-curi pandang kearahnya yang kini sedang sibuk menyalin coretan itu di bukunya. Ia mungkin tak sadar jika dirinya telah menjadi matahari tempat planet-planet berjenis kelamin lelaki mengorbit padanya. Dan seolah kini aku menjadi planet yang paling hangat dan paling hidup diantara mereka oleh sebuah sebab yang belum kuketahui mengapa. Seolah semua kebahagiaan yang pernah tenggelam dan menjadi gelap selama ini kini terbit dan bersinar sangat terang.
“Kuliah hari ini sampai disini saja…”
“Yesss…!!!” teriak beberapa mahasiswa di kanan dan kiriku.
“Kita lanjutkan minggu depan. Assalamua’laikum warah matullahi wabarokatuh.” Pak dosen menutup perkuliahan pagi itu.
Wajahnya memerah, mungkin ia sangat kesal pada kami.
Tanpa banyak biacara lagi ia pergi dan di ikuti semua mahasiswa. Satu persatu mereka keluar meninggakan kelas. Namun aku masih tetap di tempat duduk, aku tak tahu apa yang sedang aku tunggu.
Kupalingkan badanku kebelakang dan arah mataku jatuh pada perempuan yang kini sedang berkemas dan hendak keluar. Sesuatu jatuh, sebuah buku yang tadinya terselip disamping kursi. Ia tak menyadari hal itu, ia terus pergi dan melangkah pergi. Detik berikutnya kulihat seorang laki-laki bertubuh kecil mengambilnya. Tanpa sungkan-sungkan ia membuka dan membacanya sambil berjalan dan semakin dekat kerahku. Tak sadar ia mengeraskan bacaannya…
“Arlia Ariani… Impian… menjadi novelis terkenal.”
Entah, aku merasa tak senang ia membaca buku orang lain tanpa minta ijin. Lantas aku langsung berdiri dan merebut buku itu darinya.
“Haish… itu praiwesi!” Aku sengaja membentaknya.
Ku tarik buku itu kebelakang punggung bermaksud melindunginya. Dan lelaki kecil yang tingginya tidak lebih dari pundakku itu tak berekasi, ia hanya menatapku dari balik kaca matanya yang setebal 1 senti.
“Apa!!” Bentak ku lagi.
Ia hanya geleng-geleng lalu berbalik memunggungiku dan pergi meninggalkan kelas. Dan aku hanya berdiri mematung memandangi buku yang bersampul merah dengan tulisan nama pemiliknya tertempel di sudut kiri atas buku.
Dan ketika aku menegakkan kepala, kelas telah kosong! Tak ada seorang pun kecuali hanya aku sendirian.
“Siaaaaaal…!”
Lantas aku menghambur lari, melangkah keluar dengan langkah panjang-panjang. Dan ku jumpai lagi di depanku seorang lelaki kecil yang baru saja kugertak sedang berjalan dengan langkah gontai dan menundukkan kepalanya seoalah beban berat menggantung di lehernya. Kutepuk punggunggnya keras-keras.
“Makasih ya…”
Kataku sambil terus berlari mundur dan kulambaikan buku merah yang kugenggam.
“Terimakasih!” teriakku sekali lagi.
Namun ia hanya nyengir lugu, mungkin tak mengerti mengapa aku berterimakasih padanya.
Aku terus saja berlari menuju tangga dan menuruninya. Entah apa yang kupikirkan, namun hatiku entah begitu yakin telah melangkah menuju arah yang benar. Aku begitu yakin sesuatu yang sedang kukejar entah apa, berada di arah ini. Sampai di lantai dua; masih tak menghentikan langkahku melainkan terus menuju tangga yang berada di depan di sebelah kiriku yang langsung ku lompati dua-dua. Hingga di kejauhan, di lantai satu kulihat perempuan berpakaian putih dengan motif bunga dahlia sedang berjalan keluar melewati pintu. Sekarang ia sudah sampai di jalan paving yang dinaungi pohon ketapang. Kesana aku mengejarnya… dan berteriak memanggil.
“Arlia…! Arlia…!”
Perempuan itu menoleh dengan gerakan yang anggun ala sinetron -zoom dan fokus di wajahnya, kemudian terlihat sangat jelas jilbabnya mengayun melambai-lambai dengan efek angin dan daun-daun ketapang yang berjatuhan, jemari tangan kanannya menempel di depan bahu kanannya sambil memegangi tas, dan yang paling penting… bibirnya sedikit terbuka memperlihatkan gigi seri dan taringnya yang menggoda. Mendapati seseorang yang sedang memanggilnya dengan berlari-lari sambil melambaikan buku merah, ia berhenti lantas maju langkah kearahku dan berhenti lagi.Ia menatapku penuh tanya.
“A.. Ar.. A.. Ar.. Lia… heh heh…”
Dihadapannya aku masih terus mencoba dengan sekuat tenaga mengendalikan tarikan nafasku yang tetap saja gagal.
“Eh kok kamu?” katanya heran “Kamu… Mas-mas yang kemarin dibengkel itu, kan?”
“Iya. Bukumu…”
jawabku sembari mengulurkan tangan menyerahkan buku merah miliknya.
“Aduuuuh… Hehehe makasih ya, Maaaaaas…?” katanya memanjangkan bunyi huruf A sambil menaikkan sebelah alisnya.
“Panggil aku Adrian… Kita temen sekalas.”
“Eh iya ta? Kok aku tadi enggak liat” Suaranya meninggi seolah tak percaya.
“Abis kamu terlalu fokus sih sama Si Jenggot,” Kataku ngasal.
“Hahahaha…”
Tangan kirinya berusaha menyembunyikan tawanya yang keras namun ia terlambat menyembunyikan pesonannya, aku masih berhasil melihat giginya yang gingsul dari sela-sela jarinya. Sejenak aku terpaku melihatnya.
“Kenapa?” tanya Arlia sambil mengusap kedua ujung matanya dengan jemari-jemari yang lentik itu.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.
(C) Andy Riyan; ANN
pict. source : klik disini