Tentang Kisah Bu Sarah dan Pak Jono

“Masa njenengan tidak pernah jatuh cinta lagi sejak saat itu, Pak? Apa dia begitu tak tergantikan?” Sarah menatapku nanar.

Aku kira ia memang bersungguh-sungguh untuk membantuku bangkit. Tak sehari pun ia tak pernah memotivasiku. Seolah-olah jika lewat sehari saja, maka aku akan semakin terpuruk dan tenggelam dalam kegelapan.

“Ha ha ha… Cinta… ” Aku tersenyum getir, “Cinta adalah perkara yang paling konyol dalam hidupku… rasanya ah gitu deh!”

“Ah njenengan sok kayak gitu… sok gak butuh… seolah kata cinta itu seperti buah yang terlalu masak hingga rasa aslinya sudah tak mengundang selera untuk membicarakannya. Padahal pun kalau ada jambu yang masak njenengan ambil dibuat jus.”

“Bu Sarah sendiri… Ketika menikahi Pak Jono…” Sarah tampak gelisah, ia menahan napas. Aku ragu. Akankah aku terlalu kejam menyerang sisi ini? Aku kira Sarah lebih suka menghindari topik ini. Aku menahan. Lebih baik tidak dilanjutkan.

Sarah menghela napas panjang. Kemudian sejenak ia tampak berpikir menyusun kata-kata. Sarah menelan ludah, kemudian ia berkata : “Semuanya akan berubah sejalan dengan waktu, Pak!”

Aku menekan kuat-kuat gejolak batin yang akan meledak. Waktu. Waktu adalah hal yang bahkan tiap satuan terkecilnya adalah hal terbesar yang aku miliki. Apa katanya? Berubah sejalan dengan waktu? Apakah aku hanya akan membiarkan waktu berjalan begitu saja? Jika bukan karena Sarah-lah yang membantu membuatku nyaman di tempat ini, mungkin aku tak mau capek-capek mengendalikan diri.

“Siapa pun, pasti akan mengalami sebuah kekecewaan setelah menikah… yang aku rasakan kepada Pak Jono juga seperti itu. Enatah kebodohan apa yang telah membuatku mau menerima lamaran Pak Jono. Rasanya aku seperti tersihir.”

“Tak ada cinta? Ketika menikah dengan Pak Jono?”

“Jangankan cinta, Pak. Bahkan aku tak pernah membayangkan kalau aku akan menikah dengan Pak Jono. Aku selalu selalu menjawab : ‘Wah mboten ah… moso Pak Jono sih. Mboten pokok e,’ Setiap kali temen-temen di sini menggodaku untuk menikahi Pak Jono.

Sarah kemudian menceritakan padaku awal mula kisah pernikahannya dengan Pak Jono, kisah pernikahan yang tidak pernah melewati masa pacaran. Kali itu aku sadar, kalau Sarah tidak menganggapku hanya sekedar partner kerja. Dia bahkan merasa aman dan mempercayaiku menceritakan kisah pribadinya.

Dengan Pak Jono, Sarah tidak mengalami kisah cinta yang berbunga-bunga seperti remaja yang bertemu dengan cinta pertamanya tidak pula mengalami gejolak perasaan yang meledak-ledak seperti kisah cinta orang-orang masa kini pada umumnya. Singkat cerita, pada suatu ketika Pak Jono hanya mengirim sms kepada Sarah. Melalui SMS itu ia bercerita, bahwa ia bermimpi bertemu dengan Sarah. Karena bingung dengan maksud Pak Jono, mengapa ia menceriakan mimpi konyol itu, Sarah tak membalas SMS itu. Selang beberapa hari Pak Jono mengirim SMS ke Sarah lagi. Isinya hanya sekedar permintaan ijin—menurut Sarah— tak kalah konyol dari SMS sebelumnya : “Seandainya saya suka sama Bu Sarah, Boleh?”

Dengan jengkel Sarah membalas : “Pak Jono maunya apa? Kalau Pak Jono mau serius, datang saja langsung ke rumah dan minta ijin sama Bapak.”

Pak Jono yang tidak siap dengan jawaban yang teramat kejam itu, ia membalas kalau ia mau datang ke rumah Sarah sore hari berikutnya.

“Y” balas Sarah.

“Ha ha ha ha…” aku tertawa terpingkal-pingkal, “Sesingkat itu, Bu? Hanya jawab dengan huruf ‘Y’ aja?”

“Iya, Pak. Gak kepikiran waktu itu.”

“Terus… terus gimana ceritanya?” aku penasaran.

“Pak Jono dateng beneran, Pak!” Sarah menepuk bahuku kuat-kuat “Waduh piye kiye…! Perasaannya jan mak nyas! … aku lak bingung to Pak. Tak kiro ora arep teko, jebul teko tenanan.” Ia meraba dadanya kemudian kedua telapak tangan Sarah menempel di pipi menirukan ekspresinya dulu. Kemudian ia tertawa sendiri sampai terbungkuk-bungkuk mengenang masa lalunya. Aku pun ikut tertawa, padahal aku bingung, ia ngetawain apa sih?

Sarah bercerita menurut ceritanya Pak Jono, ketika Pak Jono menyanggupi tantangan Sarah, Pak Jono seperti benar-benar mengalami kengerian yang luar biasa. Lututnya gemetaran dan tubuhnya terasa sangat gerah sekali, kemringet!. Di tengah perjalanan menuju rumah Sarah, Pak Jono sempat ragu dan berbalik arah mau pulang, “Piye kiye, arep sido pora ya.” Katanya. Setelah lama berpikir dan mengumpulkan nyali, Pak Jono berbalik arah lagi menuju rumah Sarah. Tapi baru satu meter ia berhenti lagi, bahkan sampai harus turun hingga berjongkok dan berpikir untuk kesekian kaliya. Rasanya ia mau menangis. Campuran antara isin ditolak atau isin tak sanggup dengan tantangan yang sudah disanggupinya. Akhirnya ia membulatkan tekadnya: “Kalau ditolak, aku mau resign aja. Keluar dai kantor.” Katanya.

 

 

Gambar fitur : Google

6 Comments Add yours

  1. Nadya Irsalina says:

    Ini udah tamat sampai sini?

    Like

  2. Nadya Irsalina says:

    Ini udah tamat sampai sini ?

    Liked by 1 person

    1. jejakandi says:

      Apa maksudnya tamat sampai di sini? Ya ceritanya memang seperti ini. Per topik.

      Like

      1. Nadya Irsalina says:

        Hooooo yayaya

        Like

  3. Kakmoly says:

    Ini ndak ada kelanjutannya lagi, Mas?
    Jadi, sebenarnya Ibu Sarah itu punya hubungan apa dengan Bapak yang diajaknya berbincang? (pada percakapan pembuka di atas)

    Liked by 1 person

    1. jejakandi says:

      Halo Mbak Kakmoly, terima kasih sudah berkunjung. Hemmm kelanjutan seperti apa ya, yang kira-kira diharapkan oleh pembaca?

      Hubungan Bu sarah dengan bapak itu, rekan kerja seperti yang sudah diceritakan pada cerita sebelumnya: Ditawari Janda.

      Like

Katakan sesuatu/ Say something

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.