…..
“Mas Galih, bolehkah aku minta tolong…”
“Ya.”
Hening.
“Tolong jauhi aku, … selamanya,”
“Baiklah,” Jawab Galih. “Tapi… aku mempunyai satu permintaan,… aku ingin melihatmu sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya.”
“Sore ini, jam empat di halaman perpustakaan.” Balas Ratna cepat. “Mas Galih?”
Klik,
Galih menutup ganggang telpon, menutup pembicaraan siang itu. Ia tidak suka berlama-lama berbincang melalui pesawat telpon.
Kemudian Galih mengalihkan pandangan matanya dari ganggang telpon, melihat langit melalui jendela kamar yang terbuka. Perlahan-lahan ia berdiri lalu berjalan menghampiri dan melongok keluar. Hatinya nampak menerka-nerka kedalam naungan awan yang samar. Ia menerka adakah awan itu bergerak sedemikian lambat seperti waktu yang merayap sangat pelan ataukah sedemikian cepat secepat pikirannya menerka untuk memahami apa yang telah ia lakukan pada Ratna. Dalam hati ia terus bertanya-tanya, berkata-kata
“Jika cinta harus selalu rumit, serumit mengurai benang yang teramat kusut –aku tak tahu sebabnya. Tetapi jika cintaku pada Ratna menjadi seperti ini, menjadi seperti asap yang tak berbentuk dan sulit untuk ditelusuri benang merahnya, adalah salahku yang tak pernah mampu menyentuh hatinya atau sekali saja mengerti dan memahami inginnya.”
Galih nampak sedang menanggung beban yang sangat berat, berulang kali ia menghela nafas panjang, mengisi paru-parunya dengan udara, yang kemudian mengalir bersama darah melalui pembuluh nadi kedalam otaknya. Otaknya lalu bekerja mengingat kenangan-kenangan lama.
Dua tahun telah berlalu, sejak pertama kalinya Galih mengajak Ratna pergi untuk menikmati keindahan bintang di suatu malam liburan. Duduk berdua di tepi jembatan yang dibawahnya mengalir sungai besar –airnya mengalir ke timur dan entah bermuara dimana.
Lalu sore harinya di halaman perpustakaan.
Duduk berdua, sepasang manusia yang hanya berbicara dalam diam. Mulut mereka terbungkam rapat seakan terkunci. Lama sekali mereka tak saling bicara. Halaman perpustakaan terasa hening, udara yang sedemikian lembut menjadi sedemikian keras terdengar berdesir di dalam dada dan merambat membelai muka.
“Aku tak mengerti…” Kata Galih tiba-tiba memecah kesunyian.
“Tidak apa-apa, kamu tidak melakukan kesalahan apa-apa,” Potong Ratna.
Galih menatap mata Ratna dalam-dalam. Ia tak mengerti apa yang sedang coba Ratna katakan.
“Jangan menatap seperti itu.. ” Bisik Ratna pelan.
Ratna menundukkan kepala. ‘Ya jangan menatap seperti itu, Mas Galih. Tatapan matamu itu benar-benar telah membunuhku, telah menikam dengan sadis jantung hatiku, tatapan matamu yang sedemikian tajam itu yang selalu membuatku jatuh hati. Amarahku selalu runtuh setiap kali kamu memandangku seperti itu.’ Kata Ratna dalam hati.
“Hah…” Galih menghela nafas. Galih memandang langit-langit shelter yang menanungi taman, satu-satunya shelter yang berdiri di ujung taman perpustakaan yang ditumbuhi pohon-pohon yang merambat. Akar-akarnya menjalar, merambat memeluk pilar.
“Aku tak mngerti.. sudah 4 bulan ini aku selalu menjaga jarak denganmu, tak berbicara denganmu… tak menghubungimu, Dan kamu memintaku untuk menjauh darimu? Apa yang salah? Bukannya aku sudah menjauhimu?”
Hening.
‘Aku tak bisa selalu menahan rindu padamu, Mas Galih. Aku tak mengerti sejak kamu menyatakan cinta setahun yang lalu, aku tak mengerti apa yang harus kukatakan padamu. Aku juga cinta denganmu, Mas Galih. Tetapi aku tak mengerti, mengapa kamu tak mempertanyakan bagaimana perasaanku padamu. Ku kira dengan mengabaikanmu, kamu akan mencariku.. ternyata aku salah. Kamu tak mencariku. Sebenarnya bagaimana perasaanmu terhadapku itu? Bagaimana? Sunguh-sungguhkah kamu menyanyangiku?’ Ratna hanya mampu menjawab pertanyaan Galih dalam hati, bahkan ia sama sekali tak memandang wajah Galih. Ia terus menunduk dan bungkam.
“Aku pergi…” Kata Galih.
“Suatu hari akan terentang kisah dalam hati kita. Akar yang merambat memeluk pilar dan daun yang sendu ini akan menjadi saksi, bahwa kita pernah saling memandang, bertatapan mata, namun tak saling bicara, hanya berkata dalam hati, bahwa ada sebuah perasaan yang sama yang harus menyatu… Tetapi itu tidak akan pernah terjadi.”
Lalu Galih berdiri, ia menatap Ratna untuk yang terakhir kalinya kemudian berpaling dan menghilang dibawah hujan.
Ratna masih terdiam menunduk. Shock. Matanya terpejam.
Ia baru menyadari apa yang baru saja Galih katakan padanya setelah air mata yang hangat pecah dan mengalir dipipinya. Tiba-tiba ia berdiri, berputar-putar mencari sesosok lelaki yang kini tak lagi ada disampingnya.
Hujan deras telah memisahkan Galih dan Ratna, tetapi hujan yang sangat deras itu tak akan pernah sanggup mengalahkan derasnya air mata yang pecah di kedua pipi melngkung Ratna.
….
© Andy Riyan
One Comment Add yours